Mengais Asa di Kawasan Wajib Kondom

Mengais Asa di Kawasan Wajib Kondom


“tak pernah kami bermimpi menafkahi anak dan keluarga kami dari tempat yang menurutmu kotor ini, namun bisakah kami memilih”

KONDOM                   Tak banyak orang yang tahu nama Kaliwungu, sebuah desa di pinggiran kecamatan Ngunut-Tulungagung. Meski begitu, belakangan nama kaliwungu kerap disebut diberbagai media massa. Bukan sebab terjadi bencana alam ataupun kerusuhan berbau SARA di tempat ini, melainkan satu dari dua lokalisasi legal di Tulungagung terdapat disini, serta bisa dikatakan sebagai lokalisasi yang terbesar di kabupaten yang di sebelah selatan berbatasan langsung dengan samudra Hindia ini.  Keberadaan lokalisasi kaliwungu sendiri sebenarnya bukan hal baru, berdasarkan catatan Dinas Sosial  Tulungagung lokalisasi ini telah ada sejak tahun 1972. Rencana pemerintah mengalihfungsikan (penutupan ; red) lokalisasi inilah salah satu pemicu maraknya pemberitaan terkait kawasan kaliwungu.
                Tak butuh waktu lama untuk sampai ketempat ini, dengan menggunakan sepeda motor berkecepatan sedang misalnya, hanya diperlukan waktu sekitar 30 menit dari pusat pemerintahan kabupaten Tulungagung. Lokalisasi kaliwungu sendiri berada tak jauh dari pasar  Ngunut, pasar yang bisa dibilang jantung perekonomian dan pusat keramaian warga Ngunut. jika berniat menuju Lokalisasi Kaliwungu, dari jalanan antar kabupaten yang padat berganti jalanan yang bisa dikatakan cukup lengang. Meski jalanan sudah beraspal namun karena termakan usia terdapat beberapa lubang disana-sini. Sekitar 100 meter menuju Lokalisasi Kaliwungu akan didapati jalanan kecil di tengah kepadatan rumah penduduk, yang sejauh ini hidup berdampingan bersama warga lokalisasi.
                  Tak akan didapati para pria berbadan kekar dan berpakaian serba hitam yang menjaga tempat ini, sebagaimana para Bodyguard yang menjaga club malam atau tempat hiburan malam lainya. Yang ada justru laki=-laki yang sebagian besar telah lanjut usia dengan seragam kebesaran berlabel “LINMAS”.
Keramaian Malam di Lokalisasi
               Jangan pernah beranggapan bahwa lokalisasi adalah sebuah tempat yang sepi dengan lampu remang-remang serta hanya ada wanita yang menjajakan dirinya sembari mengumbar kemolekan tubuh. Setidaknya keadaan semacam itu tak terjadi di loisasi ini, keramaian  kaliwungu di malam hari tak ubahnya seperti pasar malam. “Suasana di lokalisasi tak seperti yang selama ini ada dalam bayanganku, ternyata rame banget” ungkap MR (20th), seorang pemuda yang mengaku datang ke Kaliwungu hanya untuk mengobati rasa penasaranya tentang bagaimana kondisi di lokalisasi selama ini. Hal itu bisa juga dilihat dari banyaknya kendaraan yang terparkir di bagian depan area lokalisasi.  “Tiap hari kalau pas lagi ramai kayak gini, ada sekitar 150 atau bahkan lebih kendaraan yang parkir lo mas”ungkap salah seorang tukang parkir yang enggan disebut namanya.
               Alunan musik yang riuh terdengar bersahutan datang dari berbagai sudut wisma, dipadu suara beberapa pengunjung yang tengah ber-karaoke yang terkadang terdengar cukup false. Belum lagi suara para pedagang makanan yang tengah menjajakan barang dagangannya menambah keramaian malam di lokalisasi. Tak semua pengunjung yang datang hanya untuk mencari jasa para PSK, ada pula yang datang ke lokalisasi hanya berniat melepas penat sembari menikmati secangkir kopi panas khas lokalisasi. Terkadang Sebagian pengunjung sengaja datang ke kaliwungu bersama teman, sehingga tampak beberapa gerombolan orang bergantian masuk ke area lokalisasi.
Kepingan Rupiah di Lokalisasi
                    “wes to mas gak usah, malah nggak seneng aku nek carane ngene”   (sudahlah mas tidak usah,  saya justru tidak suka kalau caranya seperti ini;red)  tutur Mbok Nem salah seorang pemilik wisma. Berdasarkan pengakuan Putra  beserta teman-teman wartawan dari berbagai media massa di Tulungagung,  Mbok Nem memang selalu menolak saat rekan-rekan wartawan atau para aktifis yang peduli nasib PSK (Pekerja seks komersial) akan membayar minuman yang telah dipesan di warung miliknya. Seperti halnya malam itu, berulang kali  para wartawan memaksa Mbok Nem untuk mau menerima uang atas apa yang telah mereka pesan, namun berulang kali pula Mbok Nem menolak uang yang sebenarnya memang  menjadi haknya. Perdebatan kecil kerap terjadi antara para wartawan dengan Mbok Nem mengenai hal tersebut, akan tetapi perdebatan tersebut selalu berujung kemenangan dipihak Mbok Nem. “Kalau Mbok Nem sudah ngotot kayak gitu, akhirnya kami juga yang harus mengalah” tambah Putra, seorang wartawan TV swasta.
                  Mbok Nem hanya satu dari puluhan pemilik wisma di area lokalisasi kaliwungu-ngunut . Wanita yang kini usianya lebih dari setengah abad itu tak hanya menjadikan rumahnya sebagai tempat hunian dimana orang seusianya biasa bermanja-manja dengan cucu maupun kerabatnya, melainkan menjadikan rumahnya sebagai tempat mencari penghidupan juga. Rumah kecilnya disulap menjadi 2 bagian, warung kopi di satu sisi dan kamar-kamar tempat beberapa wanita menawarkan jasanya di sisi yang lain. Sebagaimana Mbok Nem, beberapa pemilik wisma terkadang  tak hanya menawarkan jasa PSK semata, ada yang mendesign wismanya sebagai tempat karaoke,  salon, tempat minum, dan tentu yang paling banyak wisma plus warung kopi.
                   Jika pernah terbersit dalam benak sebuah anggapan bahwa lokalisasi adalah lahan mencari penghidupan bagi PSK dan pemillik wisma ( MucikariRed) saja, segera buang anggapan tersebut jauh-jauh, ada begitu banyak orang yang menjadikan kaliwungu sebagai sumber penghidupan untuk keluarganya.  Mulai dari tukang parkir, tenaga keamanan (LINMAS), Tukang cuci (Loundry), pejual makanan, tukang tambal ban, salon, dan berbagai macam usaha lainya. Meski tak dipungkiri jasa PSK masih menjadi komoditi utama.
                      Di berbagai sudut lokalisasi sangat mudah ditemui gerobak-gerobak para penjual makanan, dan makanan yang dijual pun beraneka ragam. “Disini itu dijual berbagai jenis makanan mas, itu dipengaruhi gaya hidup para PSK bermacam-macam, ada yang glamor namun ada pula yang  hidup dan makan sekedarnya saja. Makanya para penjual pun menuruti kemauan konsumen” papar Dwi salah seorang warga sekitar yang peduli akan nasib PSK. Harga makanan yang ditawarkan pun tak jauh beda dengan harga makanan yang sama diluar area lokalisasi. Ada pula pedagang makanan keliling antar wisma, untuk tipe penjual yang seperti ini di dominasi oleh orang lanjut usia. Mereka menawarkan makanan seperti rujak, pecel, serta makanan ringan dari satu wisma ke wisma yang lain, berharap ada PSK ataupun pelangganya yang tertarik dengan daganganya.
                      Tak semua pedagang menawarkan makanan. AS (49th) misalnya, di salah satu sudut komplek dengan berbekalkan lampu beserta aki mengajak para pengunjung untuk menguji keberuntungan mereka. Ada ratusan kertas potongan kecil-kecil yang dibungkus dan disusun secara berurutan.  Disetiap kertas ada nomor-nomor yang nantinya akan dicocokan dengan hadiah yang telah ia sediakan. “ mau jual makanan udah banyak mas, lagian begini saja rame kok, iso digae nyekolahne anak ”, ungkapnya bangga.
RENCANA PENGALIHAN FUNGSI LOKALISASI
                        Bermula dari rencana pemerintah beserta 30 deklarator yang terdiri  dari berbagai Ormas di Tulungagung yang merancang sebuah program bertajuk pengentasan PSK lewat serangkaian upaya pemberdayaan. Sebuah program yang akan mengalihfungsikan kawasan lokalisasi kaliwungu dan Ngujang menjadi zona ekonomi produktif. Dalam program tersebut dijabarkan pula skema pelatihan untuk para PSK agar mampu hidup mandiri dan memiliki pekerjaan baru  yang lebih bermartabat. Sementara lahan lokalisasi akan dialih fungsikan menjadi tempat futsal, pemancingan, dan pasar burung.
                       Para deklarator berdalih hal ini sebagai tidak lanjut kebijakan dari tingkat propinsi. Namun sekretaris  Komisi B DPRD Tulungagung, Heru Santoso S.Pd, M.Pd dalam keteranganya pada Bhirawa, Kamis(8/3) segera membantah alasan tersebut, karena menurutnya dari tingkat Propinsi masih sebatas imbauan, “Baru imbauan saja, pernyataan ini kami dapat setelah bertemu dengan kabiro kesra pemprov  jatim. Selasa(6/3) lalu” ungkapnya. Pada dasarnya pihak pemerintah Provinsi yang dalam hal ini diwakil kabiro Kesra Jatim menilai keputusan Pemkab Tulungagung terlalu cepat, meski akhirnya beliau juga mendukung keputusan ini.
                       Para PSK dan Mucikari yang menjadi pembahasan dalam masalah ini pun dengan tegas menolak program yang ditawarkan pemerintah, pasalnya program dari pemerintah dianggap tidak jelas dan terkesan memaksakan diri, “Dasar hukumnya belum jelas, begitupun dengan Program yang ditawarkan. Program semacam ini pernah diberlakukan di beberapa lokalisasi, namun program itu berlaku bertahap dan sampai sekarang belum berakhir”, ungkap seorang mucikari lokalisasi kaliwungu dalam sebuah wawancara dengan  crew Dimensi.
                     Dalam menyikapi rencana pemerintah tersebut para penghuni lokalisasi beserta orang-orang yang peduli terhadap nasib mereka membentuk sebuah komunitas bernama BENDERA (Bela nasib akan derita rakyat; Red). “Komunitas ini bertujuan untuk men-solid-kan para penghuni lokalisasi, bentuk kebersamaan dan kerukunan warga lokalisasi kaliwungu” Ungkap Dion ketua RW setempat yang terpilih menjadi ketua BENDERA. Selain itu menurutnya komunitas ini terbentuk agar momen pengalihfungsian Lokalisasi tidak ditunggangi oleh kepentingan segelintir orang. Sebagaiman diketahui bersama banyak orang yang mencoba peruntungan dengan mempengaruhi penghuni lokalisasi agar mau menyetujui program pengalihfungsian lokalisasi demi sejumlah kepentingan
                  Warga kaliwungu dan pun punya cara sendiri dalam menyikapi polemik rerkait pengalihfungsian lokalisasi. Pengelola sepakat untuk tidak menerima anak asuh baru (PSK;Red), dan memilih untuk tetap menjalankan aktifitas  lokalisasi dengan anak asuh yang ada. Tentunya dengan sebuah keyakinan bahwa para PSK pun tak ada yang pernah bermimpi untuk menekuni pekerjaan mereka saat ini, pastilah mereka berharap mendapatkan pekerjaan lain yang lebih layak dan tentunya tanpa batas penutupan
                  Memang tak ada satu agamapun yang membenarkan segala bentuk Praktek prostitusi. Meski begitu, Pemerintah diharapkan lebih bijak dengan tidak memandang bahwa yang bergantung secara ekonomi terhadap Lokalisasi bukan hanya PSK dan Mucikari, melainkan juga masyarakat sekitar. Program ini tentulah diambil pemerintah dan didukung oleh para deklarator dari berbagai ormas  dengan maksud menjadikan Tulungagung lebih makmur, sejahtera dan yang paling penting guyub rukun. Jika pemerintah masih berpegang teguh pada komitmen awal mereka, tentulah dengan pertimbangan-pertimbangan yang ada pemerintah sepantastasnya memikirkan cara lain yang lebih Humanis diterima dan melegakan semua kalangan.
Dipublikasikan di Majalah LPM Dimensi IAIN Tulungagung edisi XXVII

Tulisan Lawas Tapi Tetep Keren

Member Habib Fans Club

Habib On Twitter