Meski tak lama, percayalah bahwa saya pernah “tinggal” di pondok
pesantren. Masa-masa itu menjadi salah satu sekuel paling bermakna dalam hidup
saya. Seperti apa saya sekarang ini, pesantren mengambil peranan paling banyak.
Saya tak bermaksud merendah, tapi memang ini kenyataanya, meski pernah tinggal
di pesantren saya merasa bahwa pemahaman saya tentang agama terbilang cetek,
saya bahkan tak tau-menau bagaimana cara membaca kitab kuning yang gundul itu.
Saya juga tak hafal banyak hadist dan ayat Al-Qur’an sebagaimana
Ustadz-Ustadzah di tipi. Tapi soal bagaimana menjadi manusia, saya memperoleh
banyak hal dari pesantren.
Perkara gonta-gonti pondok pesantren mungkin sayalah juaranya.
Setidaknya ada 6 pesantren yang pernah menjadi destinasi nyantri saya. Waktu
itu saya agak labil (sekarang makin akut), Saya gampang sekali loncat dari
pondok satu ke pondok yang lain karena alasan-alasan sederhana, karena
mbak-mbak pondoknya kurang cantik misalnya.*eh…. Meski begitu saya tak setuju
jika ada anak gadis yang mengatakan bahwa saya bukan tipe cowok setia. Saya
bisa bertahan di satu hati dalam kurun waktu sangat lama asal jangan buru-buru
diajak nikah, saya belum siap.#lupakan
Dengan pengalaman tersebut, saya cukup expert untuk diajak
berbincang tentang kehidupan pesantren. Saya “gemes” dengan beberapa sinetron
atau FTV yang mengambil setting tempat di pesantren, saya juga kurang “Sreg”
dengan bagaimana para Sutradara dalam menokohkan figur Ustadz atau Kyai dalam
sinetron tersebut. Pesantren tentu saja bukan kumpulan orang suci tanpa dosa,
Kyai juga bukan figur manusia sempurna dan paling bijaksana, mereka tetap saja
manusia biasa. Tapi, Pesantren dan Kyai yang pernah saya kenal dan temui, jauh
dari apa yang divisualisasikan di sinetron-sinetron.
Sinetron-sinetron yang berlabel atau mengambil setting tempat di
pesantren, didominasi pada cerita perebutan 2 orang santri atau lebih, terhadap
cinta seorang santri putri. Dan tentu saja seputar Perkelahian, persekongkolan,
intrik dan hal-hal tidak beradab lainya yang menjadi cirri khas sinetron
Indonesia. Tak ada tayangan seputar kajian ilmu-ilmu agama yang sebenarnya
merupakan ruh pesantren, hanya ada satu dua kali adegan orang bersorban yang
berkata-kata bijak, kutip ayat Al-Qur’an atau hadist tapi dengan pemaknaan
se-enak udelnya, hasil meminta fatwa dari mbah Google.
Saya khawatir jika masyarakat akhirnya berprasangka bahwa
“Islam” itu sebagaimana yang mereka lihat di Tipi. Karena begitulah cara
masyarakat di Era Digital ini belajar. Berpikir bahwa mendalami agama cukup
lewat artikel-artikel di Internet, atau tayangan televise berlabel “Berita
Islam Kekinian”. Meminjam istilah Mas Iqbal AD, bahwa masyarakat di era ini
kehilangan ketelatenan dan kedisplinan dalam belajar. Akibatnya, kejernihan
hilang. Kita jadi makhluk yang serba terburu, lupa dengan ‘tumakninah’. Lebih
banyak bicara daripada menyimak, lebih banyak menulis daripada membaca. Lebih
senang memperlajari Islam dari internet dari pada repot mondok bertahun-tahun.
Jika pada tahun 2015 kemarin saya mem-branding
diri saya sendiri sebagai “Pakar Remaja Alay, Pengamat Mahasiswa dan Praktisi
Percintaan Remaja”, maka pada tahun 2016 ini saya akan menasbihkan diri saya
sendiri sebagai Pakar makan tanaman, eh maksud saya “Pakar Industri
Pertelevisian Indonesia”.