Telanjang di Ruang Publik

Telanjang di Ruang Publik

Tempo hari saat saya sedang pulang dari nguli dan mampir di sebuah masjid untuk menunaikan Sholat Magrib, saya berjumpa dengan kawan lama yang kebetulan juga sedang mampir untuk sholat. Jika saya tidak salah, terakhir kali kami bertatap muka adalah saat lulus SMA, itu artinya sekitar 6 tahun yang lalu. Dalam kurun waktu tersebut kami tak pernah sekalipun berkomunikasi via SMS atau telpon, hanya satu dua kali lewat media sosial “Facebook”.
Setelah melakukan sholat kami memutuskan untuk tak langsung pulang, melainkan terlebih dahulu mengobrol, berbagi cerita tentang kehidupan kami masing-masing 6 tahun terakhir. Kami mengambil tempat di sebuah warung kopi tak jauh dari masjid tempat kami bertemu. Singkat cerita, teman saya ini terheran-heran dengan saya, dengan kemampuan yang saya miliki saat ini. Dia menduga bahwa saya memiliki kemampuan membaca isi hati dan pikiran, bahkan dengan nada penuh keyakinan dia berujar, “sejak kapan sampean Ndukun, sekti koyok ngene?”
Teman saya sangat heran bagaimana saya bisa tau banyak hal tentang dirinya, padahal menurutnya, tak pernah sekalipun dia menceritakan hal tersebut kepada siapapun, terutama dengan saya. Bagaimana saya bisa tau tentang dimana teman saya sekarang bekerja, hubungannya dengan pacar-pacarnya, kecelakaan yang pernah teman saya alami, kematian salah satu kucing peliharaanya, perseteruannya dengan salah seorang rekan kerjanya, dan bahkan suasana hatinya hari ini, menjadi hal yang terus ia tanyakan kepada saya. “Sampean kok ngerti, sampean punya indera ke-enam yaaa?”, begitu ujarnya.
Sebenarnya saya tidak memiliki kemampuan menerawang “sesuatu yang tak nampak”, atau pemilik indera ke-enam seperti yang disangkakan oleh teman saya. Tentang informasi-informasi pribadi teman saya yang saya ketahui sebenarnya berasal dari akun “Facebook”-nya. Dari status-status FB yang dia buat, saya bisa mengetahui banyak hal tentang teman saya ini. 

Teman saya ini adalah tipikal orang yang irit bicara, tak banyak bergaul di dunia nyata, tapi sangat aktif di media sosial, yang ajek nyerocos di berbagai medsos. Dalam sehari saja dia biasa memposting 4 sampai 5 status FB, yang isinya sangat beragam. Teman saya ini menjadikan Facebook layaknya jurnal kegiatan harian dan sekaligus ruang curhat. Meski saya tak pernah secara khusus “Stalking” kronologi akun FB-nya, saya bisa melihat status FB-nya yang memang membanjiri beranda.

Sebagai pakar remaja alay dan pemerhati media sosial, Saya cukup risih dengan teman-teman yang menggunakan FB se-enak udelnya, sak karepe dewe. Posting apapun tanpa peduli azaz kepantasan dan norma sosial. Hal yang menurut saya perlu dipahami para pengguna medsos adalah ketika kita telah menjalin relasi atau pertautan di media sosial dengan pengguna lain, maka secara otomatis dunia maya tersebut telah menjadi ruang publik. Dan sebagaimana ruang publik lain seperti terminal, masjid, sekolahan, lapangan, dll, kita perlu menjaga kepantasan publik, karena ketika kita memposting sebuah status, maka ada frekuensi milik publik yang kita pakai.
Menurut saya sangat tidak pantas berkata-kata kotor, menyebarluaskan kebencian, mengunggah foto tak elok, mengumbar kemesraan dengan pasangan yang tidak sah dan semacamnya di media sosial. Karena setiap status yang telah diposting, memungkinkan akan dilihat dan dibaca sebanyak teman/follower kita di medsos tersebut. Akan ada pengguna lain yang mungkin terinspirasi dengan postingan-postingan kita. Mari menjadi pengguna yang bijak....

Perlukah Ujian Nasional?

Pak Muhadjir muncul dengan sebuah kontroversi. Bukan hanya pada proses penunjukan beliau menggantikan Anies Baswedan, yang dianggap berkinerja sangat baik dan tidak layak di-reshuffle, tapi juga gebrakan pertama beliau sesaat menjadi Menteri Pendidikan, mewacanakan sekolah dengan sistem full day school.
Kini kembali Pak Menteri Pendidikan membuat kebijakan yang “kontroversial”, yakni rencananya untuk melakukan moratorium Ujian Nasional (UN). Saya secara pribadi mendukung sepenuhnya kebijakan ini. Banyak dari kita mungkin lupa atau bahkan tidak tahu, sesungguhnya UN telah sejak lama digugat secara hukum, dan bahkan pada 14 September 2009 Mahkamah Agung (MA) telah mengabulkan gugatan agar UN dihapuskan. Akan tetapi sebagaimana kita tahu, sampai saat ini UN tetap berlangsung karena pemerintah dan Menteri Pendidikan waktu itu tak pernah menghiraukan putusan MA tersebut.

Sebuah kemunduran berpikir jika hari kita masih saja memperdebatkan kemanfaatan-kemudhorotan pelaksanaan Ujian Nasional, karena sebenarnya telah cukup banyak kajian akademis yang menunjukan bahwa terdapat cacat serius dalam kebijakan tersebut. Maka, melakukan moratorium UN adalah sebuah langkah tepat dalam membenahi dunia pendidikan. Dan moratorium itu harus dilakukan mulai 2017, dan bukannya 2018. Sebab, bagaimanapun tetap memaksakan pelaksanaan UN 2017 hanya karena anggarannya telah kadung dianggarkan dalam APBN dan APBD, adalah alasan yang buruk, sementara pengumuman menteri atas moratorium UN pastinya telah melahirkan demoralisasi serius di kalangan siswa dan pendidik atas keberadaan UN. Tetap memaksakannya benar-benar tidak akan efektif dan hanya memboroskan anggaran.

Satu-satunya alasan paling logis mengapa Ujian Nasional masih saja dipertahankan meski mendapatkan sejumlah penolakan adalah alasan finansial. Pelaksanaan Ujian Nasional kenyataannya telah memberikan keuntungan finansial yang tidak sedikit bagi sejumlah oknum dan korporasi. Mulai dari pengadaan soal (pembuat dan percertakan), pengawas, jual-beli naskah ujian, hingga lembaga bimbingan belajar.


Sebagai penutup tulisan ini saya akan mengutip fatwa Mbah Albert Einstein, "Setiap orang itu Jenius. Tetapi jika Anda menilai seekor ikan dari kemampuannya memanjat pohon, ia akan percaya seumur hidupnya bahwa ia itu bodoh." Ujian Nasional telah menjadikan jutaan anak Indonesia merasa bahwa dirinya “bodoh”, hanya karena nilai yang dia peroleh di salah satu matapelajaran tidak cukup baik. Setiap peserta didik itu berbeda dan istimewa, dan Ujian Nasional menafikan fakta tersebut. 

NEGARAKERTAGAMA (Sejarah #1)


Satu hal yang belum banyak orang ketahui tentang Kitab “Kakawin Negarakertagama”, adalah Mpu Prapanca menulis karya tersebut atas inisiatif sendiri dan bukan atas perintah kerajaan. Mpu Pranpanca menulis karya monumental tersebut dengan semangat “sepi ing pamrih rame ing gawe”. Bagi Sang Kawi, kemajuan peradaban yang dicapai Majapahit kala itu perlu untuk ditulis agar menginspirasi generasi-generasi setelahnya. Dan benar saja, Semboyan Negara Indonesia “Bhineka Tunggal Ika” adalah satu dari sekian banyak konsep kenegaraan Indonesia yang diserap dari kitab Negarakertagama. Sebuah sikap yang sangat sulit dijumpai pada manusia Indonesia saat ini. Di era yang katanya lebih modern dan berperadaban ini, masyarakat lebih gemar mencaci-maki atau berteori ketimbang memberikan sumbangsih lewat karya nyata kepada Tanah Airnya.

Penulisan kitab tersebut murni didasari pada keinginan Mpu Pranpanca untuk memuliakan Raja Majapahit beserta para leluhurnya, dan tentu saja juga kecintaan Mpu Prapanca pada tanah airnya (Kerajaan Majapahit). Beberapa pakar bahkan bersepakat bahwa Mpu Prapanca menulis karya tersebut jauh dari hiruk pikuk pusat kerajaan dan kekuasaan. Karya tersebut disusun oleh Mpu Prapanca di sebuah desa sepi nan terpencil namun asri dan menyejukkan hati. Mpu Prapanca telah membuktikan bahwa tempat tak pernah menjadi penghalang untuk memberi sumbangsih kepada tanah air.


Jika ada yang butuh penjelasan apa arti semboyan “Sepi ing pamrih rame ing gawe”, itu seperti mencintai seseorang dalam keheningan. Tidak menebar PHP dan tiba-tiba nglamar. :D

Tulisan Lawas Tapi Tetep Keren

Member Habib Fans Club

Habib On Twitter