TRADISI


Dalam tradisi Zen ada kisah sebagai berikut: Di sebuah biara tua, hiduplah seorang Guru Agama Buddha bernama Tao. Di sekitar biara tersebut, hiduplah seekor kucing, yang sangat jinak kepada Guru Tao. Kucing itu selalu mengikuti ke mana saja Guru Tao pergi. Suatu hari, ketika Guru Tao berceramah, kucing itu mengikuti Guru Tao ke dalam biara sehingga mengganggu kegiatan ceramah. Guru Tao pun memerintahkan kepada muridnya agar mengikat kucing itu di luar biara selama ia berceramah. Hal ini terjadi berulang kali. Bertahun-tahun kemudian, ketika Guru Tao telah wafat, kucing yang sama diikat di luar biara ketika ada yang berceramah. Dan, akhirnya kucing itu pun mati juga. Selepas kematian kucing tersebut, dicarilah kucing-kucing lain untuk diikat di luar biara selama ceramah. Hal ini dilakukan secara turun menurun tanpa ada seorang pun tahu hubungan antara kucing dan ceramah. Tak ada seorang pun yang mempunyai nyali untuk bertanya selain meneruskan tradisi tersebut. (Kang Al)
Nyatanya ada sangat banyak tradisi yang terus kita pertahankan tanpa pernah peduli apa peristiwa yang melatarbelakanginya, nilai apa yang terkandung didalamnya. Kita menjadi generasi penerus yang taqlid buta terhadap warisan, terus mempraktekan tradisi dan rutinitas tanpa sempat mempertanyakan “mengapa” dan “mengapa”, imbasnya kita menjadi generasi mekanis-robotis yang nihil makna.
Pernahkah kita bertanya mengapa kita makan setiap hari?, Mengapa kita perlu terus hidup? Mengapa kita menaruh sendok diatas piring dengan posisi tengkurap (dibalik) seusai makan? Mengapa kita perlu mengadakan Tahlilan untuk orang yang meninggal ? Mengapa para dosen selalu menggunakan metode perkuliahan “membuat makalah dan presentasi”? Mengapa para jurnalis kampus yang tergabung dalam sebuah perhimpunan merasa perlu mengawal sebuah isu secara bersama-sama? dan sejuta tanya “mengapa” lainya.
Pernah suatu kali saya bertanya kepada teman mahasiswa, Mengapa mereka melakukan recruitment anggota baru untuk organisasi mereka ? dan jawaban inilah yang saya peroleh, “ya karena agenda semacam ini sudah diadakan setiap tahun, tahun ini juga dong?”. Hanya karena tahun kemaren dan kemarennya lagi diadakan recruitment anggota baru, tidak berarti agenda semacam itu perlu diadakan di tahun ini kan?
Doc Google
Pernah juga saya bertanya kepada para jurnalis kampus, mengapa sampul majalah mereka selalu didesain “menjemukan” seperti itu. Kurang menarik, garing dan gitu-gitu aja, lebih mirip seperti desain LKS anak-anak SMP ketimbang majalah mahasiswa. Salah seorang crew menjelaskan, “Desain seperti ini adalah pakem, tidak bisa diubah”. Nah loh, hanya karena desain semacam itu sudah ada sejak zaman penjejahan, telah dipakai sejak kali pertama majalah tersebut terbit, tak berarti desain semacam itu masih relevan untuk digunakan sampai sekarang kan?
Saya tidak hendak mengatakan bahwa segala tradisi perlu diberangus dan digantikan dengan segala hal yang berlabel “kekinian”, saya tidak semaniak itu pada hal-hal baru. Saya hanya merasa bahwa kita perlu menjunjung tinggi tradisi tapi tetap tidak kehilangan nalar kritis. Para orang tua dan generasi terdahulu bukanlah kumpulan orang bodoh, mereka tentu memiliki alasan terhadap segala hal yang beberapa masih kita praktekan sampai saat ini. Kita sebagai generasi penerus perlu berfikir “kearifan” apa yang terkandung didalamnya. Dan jika dirasa sebuah tradisi tak lagi relevan untuk zaman ini, mengapa tak ada keberanian untuk tidak lagi mempraktekkannya, dan menggantinya dengan hal baru baru yang lebih sesuai. Atau melakukan inovasi atau penyesuaian- penyesuaian pada tradisi.
Di penghujung dari tulisan ini saya akan mengutip salah satu maqolah yang menurut saya keren Tentang bagaimana menyikapi tradisi dan hal-hal kekinian. “Al muhafadlotu ala qodimi soleh wal ahdu bil jadidil aslah”

Tulisan Lawas Tapi Tetep Keren

Member Habib Fans Club

Habib On Twitter