Telanjang di Ruang Publik


Tempo hari saat saya sedang pulang dari nguli dan mampir di sebuah masjid untuk menunaikan Sholat Magrib, saya berjumpa dengan kawan lama yang kebetulan juga sedang mampir untuk sholat. Jika saya tidak salah, terakhir kali kami bertatap muka adalah saat lulus SMA, itu artinya sekitar 6 tahun yang lalu. Dalam kurun waktu tersebut kami tak pernah sekalipun berkomunikasi via SMS atau telpon, hanya satu dua kali lewat media sosial “Facebook”.
Setelah melakukan sholat kami memutuskan untuk tak langsung pulang, melainkan terlebih dahulu mengobrol, berbagi cerita tentang kehidupan kami masing-masing 6 tahun terakhir. Kami mengambil tempat di sebuah warung kopi tak jauh dari masjid tempat kami bertemu. Singkat cerita, teman saya ini terheran-heran dengan saya, dengan kemampuan yang saya miliki saat ini. Dia menduga bahwa saya memiliki kemampuan membaca isi hati dan pikiran, bahkan dengan nada penuh keyakinan dia berujar, “sejak kapan sampean Ndukun, sekti koyok ngene?”
https://www.maxmanroe.com/wp-content/uploads/2015/01/Media-Sosial-Terbaru.jpg
Teman saya sangat heran bagaimana saya bisa tau banyak hal tentang dirinya, padahal menurutnya, tak pernah sekalipun dia menceritakan hal tersebut kepada siapapun, terutama dengan saya. Bagaimana saya bisa tau tentang dimana teman saya sekarang bekerja, hubungannya dengan pacar-pacarnya, kecelakaan yang pernah teman saya alami, kematian salah satu kucing peliharaanya, perseteruannya dengan salah seorang rekan kerjanya, dan bahkan suasana hatinya hari ini, menjadi hal yang terus ia tanyakan kepada saya. “Sampean kok ngerti, sampean punya indera ke-enam yaaa?”, begitu ujarnya.
Sebenarnya saya tidak memiliki kemampuan menerawang “sesuatu yang tak nampak”, atau pemilik indera ke-enam seperti yang disangkakan oleh teman saya. Tentang informasi-informasi pribadi teman saya yang saya ketahui sebenarnya berasal dari akun “Facebook”-nya. Dari status-status FB yang dia buat, saya bisa mengetahui banyak hal tentang teman saya ini. 
Teman saya ini adalah tipikal orang yang irit bicara, tak banyak bergaul di dunia nyata, tapi sangat aktif di media sosial, yang ajek nyerocos di berbagai medsos. Dalam sehari saja dia biasa memposting 4 sampai 5 status FB, yang isinya sangat beragam. Teman saya ini menjadikan Facebook layaknya jurnal kegiatan harian dan sekaligus ruang curhat. Meski saya tak pernah secara khusus “Stalking” kronologi akun FB-nya, saya bisa melihat status FB-nya yang memang membanjiri beranda.

Sebagai pakar remaja alay dan pemerhati media sosial, Saya cukup risih dengan teman-teman yang menggunakan FB se-enak udelnya, sak karepe dewe. Posting apapun tanpa peduli azaz kepantasan dan norma sosial. Hal yang menurut saya perlu dipahami para pengguna medsos adalah, ketika kita telah menjalin relasi atau pertautan di media sosial dengan pengguna lain, maka secara otomatis dunia maya tersebut telah menjadi ruang publik. Dan sebagaimana ruang publik lain seperti terminal, masjid, sekolahan, lapangan, dll, kita perlu menjaga kepantasan publik, karena ketika kita memposting sebuah status, maka ada frekuensi milik publik yang kita pakai.
Menurut saya sangat tidak pantas berkata-kata kotor, menyebarluaskan kebencian, mengunggah foto tak elok, mengumbar kemesraan dengan pasangan yang tidak sah dan semacamnya di media sosial. Karena setiap status yang telah di posting, memungkinkan akan dilihat dan dibaca 
sebanyak teman/follower kita di medsos tersebut. Akan ada pengguna lain yang mungkin terinspirasi dengan postingan-postingan kita. Mari menjadi pengguna yang bijak

Dosen Kuliah Subuh

Oleh masyarakat di Desa, saya didapuk menjadi Dosen untuk mengampu "Kuliah Subuh" dan "Kuliah Tujuh Menit" yang sudah berlangsung selama bertahun-tahun di masjid desa, kegiatan ini diikuti puluhan jamaah dari kalangan ibu-ibu lansia dan hanya beberapa laki-laki paruh baya. Saya dipercaya menggantikan Dosen sebelumnya yang sudah dianggap terlalu sepuh dan sudah waktunya menikmati masa tua bermain bersama cucu-cucunya. "Kita perlu dosen Muda, yang pemikirannya lebih update dan luas seperti sampean mas", tegas seorang warga desa

Saya adalah satu-satunya kandidat yang oleh masyarakat desa dianggap pantas dan kompeten untuk mengampu 2 kegiatan tersebut. Bukan apa-apa, menurut mereka memang sudah semestinya kuliah subuh dan kuliah tujuh menit diampu oleh seorang lulusan perguruan tinggi. Sedangkan hanya ada 2 orang warga desa yang merupakan lulusan perguruan tinggi, saya dan seorang perempuan. Jadi tentu saja warga desa yang masih fanatik terhadap laki-laki sebagai pemuka memilih saya.
Saya benar-benar bersyukur karena terlahiir di Desa seperti tempat tinggal saya sekarang, karena hanya dengan berbekal ilmu saya yang tak seberapa saja, saya sudah bisa berkontribusi dan diberi peran strategis di desa. Saya tidak bisa membayangkan jika saya terlahir di desa yang memiliki peradaban sangat maju, yang terdapat banyak orang-orang cerdas, saya akan tidak begitu berguna, karena tidak memiliki akses seperti yang saya dapatkan sekarang.
Saya memang tidak bekerja di tempat bergengsi sebagaimana teman-teman kuliah dulu, atau sahabat-sahabat pergerakaan, menjadi akademisi, politisi atau penjual tahu isi. Tapi menemukan kebahagiaan yang luar biasa. Saya merasa hidup saya bermakna.

Tulisan Lawas Tapi Tetep Keren

Member Habib Fans Club

Habib On Twitter