BERHIDUNG MANCUNG BUKANLAH ANUGRAH


Ada banyak hal yang bisa disyukuri jika Gusti Allah memberimu anugrah berupa ukuran kepala yang BESAR, Kenapa? Belum lama ini seorang pakar neurologi dari “Habib institute” melakukan penelitian yang menghasilkan temuan yang cukup mencengangkan. Manusia yang memiliki ukuran lingkar kepala yang besar, memiliki kecerdasan yang lebih tinggi dibandingkan dengan mereka yang memiliki ukuran kepala lebih kecil. So, berbesar kepala-lah (berbanggalah) mereka yang oleh Gusti Allah diberi anugrah kepala yang besar. :D
Hidung Pesek itu cantik
                Begitupun dengan mereka yang oleh Tuhan diberi anugrah berupa Badan yang BESAR. Ada segudang alasan untuk mensyukuri nikmat tersebut. Kenapa? Noh, Lihat saja Ade Rai atau Agung “Hercules”. Tubuh sehat pemberian Tuhan mereka padukan dengan olahraga yang rutin, sehingga menghasilkan Badan yang BESAR. Mereka mendapatkan banyak sekali kemanfaatan dari tubuh besarnya. Ade Rai maupun Agung “Hercules” mendapatkan banyak tawaran mengisi berbagai acara di TV lantaran badan besanya, mereka juga dikagumi banyak orang, serta didapuk menjadi duta masyarakat sehat. Jadi, ber”BESAR” hatilah mereka yang berbadan BESAR.

                Tapi tidak selamanya memiliki angota-anggota tubuh yang besar itu menyenangkan, setidaknya hal tersebut tidak berlaku pada “Hidung yang Besar (mancung)”. Dari zaman laki-laki China masih pakai kuncir rambut, sampai remaja alay menguasai dunia seperti sekarang ini, Hidung masih menjadi markas benda yang sama, UPIL. Semakin besar hidung seseorang, semakin besar/banyak pula UPIL yang bersarang di dalamnya. Andai saja yang bergelantungan di hidung bukanlah UPIL, melaikan Coco Chip atau batu alam berharga sejenis kalimaya atau bacan, alangkah menyenangkannya memiliki hidung yang BESAR, karena memiliki komoditi ekonomi yang tinggi. Kenyataannya adalah, yang bergelantungan di hidung adalah “UPIL”, benda kecil menjijikan dan tidak bernilai ekonomi sama sekali. Jadi, masihkah anda bangga memiliki hidung yang BESAR/MANCUNG? Kalo saya kog tidak…

                Satu alasan lagi yang membuat saya berkeyakinan bahwa memiliki hidung besar bukanlah anugrah adalah “Sifat Tuhan yang maha adil”. Karena sifat Tuhan yang maha adil tersebut, Dia memberi setiap manusia jatah nafas yang sama, jatah oksigen dengan kadar yang tidak berbeda. Baik orang kaya maupun miskin, baik orang Eropa maupun Asia, baik penjual bakmi atau selebriti seperti saya, Gusti Allah memberi kita tabung oksigen dengan jumlah yang sama secara Cuma-Cuma (GRATIS). Bedanya, mereka yang memiliki hidung yang BESAR, menghabiskan jatah oksigen tersebut dalam kurun waktu yang lebih cepat, karena kapasitas sedotan nafas mereka yang lebih besar. Sedangkan mereka yang berhidung kecil (Pesek), sangat irit dalam menggunakan oksigen pemberian Tuhan, sehingga masa hidup mereka lebih lama.

 Nah Loh…. Betapa mengerikannya memiliki hidung yang BESAR, karena memiliki jatah hidup yang lebih pendek. Pemilik hidung BESAR cenderung BORPAS (Boros Nafas) sehingga cepat mati.


                Nikmat Tuhan yang mana lagi yang akan saya dustakan? Saya berkepala besar, bertubuh atletis, dan berhidung PESEK. Terima kasih gusti Allah. Alhamdulillah 33X.

Dear Dosen Pembimbing Tugas Akhir di Seluruh Dunia. #1

Sebagai manusia yang beragama, penting bagi kita untuk selalu berpegang teguh pada ajaran-ajarannya. Setiap perbuatan yang akan kita lakukan, haruslah berdasar atau mengacu pada kaidah-kaidah yang tertuang pada kitab suci atau sumber rujukan hukum agama lainya.

Saya sendiri mengkategorikan diri saya sebagai pemeluk agama yang ta’at kepada setiap perintah tuhan. Hal itu lain karena saya memang lahir dan tumbuh besar di kawasan pemeluk agama yang taat, sehingga saya sedari kecil telah terlatih untuk selalu menjalankan perintah agama. Setiap hal yang saya lakukan, telah terlebih dahulu saya carikan dasar atau landasan hukumnya di kitab suci, atau setidaknya dari fatwa para pemuka agama. (cie saya)

Begitupun juga untuk perkara mengerjakan tugas akhir seperti sekarang ini, saya merasa berpegang teguh pada buku pedoman penyusunan karya tulis pemberian kampus saja tidaklah cukup. Sesempurna apapun buku pedoman penulisan karya tulis ilmiah tersebut, dia hanya buatan manusia, tak pantas jika harus dibandingkan dengan ajaran agama yang bersumber pada Tuhan pemilik semua pengetahuan.

Tentu saja ada segunung ajaran agama yang bisa kita jadikan pegangan agar selamat dalam perjalanan pengerjaan tugas akhir, dan saya berbaik hati mengutipkan 2 diantaranya yang saya rasa akan sangat membantu teman-teman mahasiswa.

1. Dunia itu wataknya tergesa-gesa, sedangkan agama itu kuncinya pelan-pelan, Khusyu’.
2. Ketenangan adalah dari Allah sedangkan tergesa gesa itu datangnya dari syaithan. (H.R 

Abu Ya’la dan al Baihaqi, dihasankan oleh Syaikh al Albani).
Inti dari kedua kaidah diatas adalah anjuran untuk selalu tenang dan tidak tergesa-gesa pada semua urusan (termasuk juga dalam pengerjaan tugas akhir), karena tergesa-gesa itu datangnya dari Syetan. Nah, Loh….

Sangat tidak dibenarkan seorang dosen pembimbing tugas akhir meminta agar mahasiswa menyegerakan (tergesa-gesa) merampungkan tugas akhirnya, karena hal tersebut bertentangan pada kaidah-kaidah agama.

Itulah alasan mengapa sampai hari ini pengerjaan tesis yang sudah saya mulai sejak 3 bulan yang lalu masih sampai di lembar kedua (cover dan halaman pengesahan), saya tidak ingin tergesa-gesa mengerjakan tesis karena tidak ingin terjebak pada jerat-jerat syetan. Bujukan untuk tergesa-gesa mengerjakan sesuatu adalah bisikan syetan.

Semoga para dosen yang rewel, bawel, sering ngomel kepada para mahasiswa agar cepat-cepat merampungkan tugas akhirnya segera insyaf, dan kembali berpegang teguh pada ajaran agama, yakni pelan-pelan dan ketenangan. Amien.


20 Februari 2015

Tulisan Lawas Tapi Tetep Keren

Member Habib Fans Club

Habib On Twitter