AKU KULIAH

             Dulu saat awal perkuliahan, aku pernah jengkel dengan prilaku teman-teman sekelasku. Mereka kerap telat mengikuti perkuliahan, sering aku mendapati beberapa teman kedapatan tidur di kelas saat perkuliahan berlangsung, dan yang paling membuat aku jengkel adalah teman-teman kelas yang aku anggap tidak serius mengikuti perkuliahan. Suasana kelas menjadi sangat tidak kondusif apalagi kompetitif, praktis hanya aku yang selalu bawel menanggapi penjelasan dosen atau teman yang kebetulan kebagian presentasi (sedikti sombong). Sampai akhirnya aku tau  apa yang melatarbelakangi hal tersebut.
             (1) AKU KULIAH BERSAMA DENGAN ORANG-ORANG YANG DIATAS PUNDAKNYA ADA SETUMPUK BEBAN. Mahasiswa di kelasku berjumlah 25 orang. 15 diantaranya telah berkeluarga (Menikah dan punya anak). Sebagian besar berprofesi sebagai GURU yang beberapa diantaranya bahkan  telah menyandang status PNS, hanya aku dan 2 orang temanku yang bukan Guru apalagi PNS. Temanku-temanku itu bukan sembarang  guru, mereka adalah guru di SD atau MI. itu artinya mereka bukanlah guru mata pelajaran, melainkan guru kelas yang dituntut mendampingi peserta didik  dari awal sampai akhir pelajaran, dari hari senin sampai sabtu. Jadwal kuliah kami dimulai dari jam 2 sore hingga jam 8 malam. Meski kami hanya kuliah 2 hari dalam satu minggu, bisa kita bayangkan betapa melelahkanya hari-hari kawan-kawanku itu.
kelas pascasarjana IAIN Tulungagung

(2) AKU KULIAH BERSAMA DENGAN ORANG-ORANG YANG DALAM OTAKNYA TELAH TERBAGI BANYAK URUSAN. Sebagaimana telah aku deskripsikan sebelumnya, temanku-temanku yang guru dan telah berkeluarga itu dipaksa harus memikirkan banyak hal. Materi pelajaran, murid yang bandel, RPP dan setumpuk tugas guru lainya. Di saat yang sama mereka mereka juga harus membagi perhatian kepada pasangan (suami atau istrinya) dan juga anak-anaknya. Sehingga akhirnya aku memaklumi ketika tugas-tugas kuliah mereka kerjakan ala kadarnya. Aku pernah mendapati sebuah makalah yang isinya sama persis dengan makalah di google. Aku sekarang enggan terlalu cerewet mengomentari konten makalah teman-eman, hanya sesekali yang aku anggap perlu.

(3) AKU KULIAH DIMANA PARA DOSEN KERAP MEMINTA IZIN UNTUK TIDAK MENGAJAR. Jika mengacu pada daftar presensi, perkuliahan telah berlangsung 6 pertemuan. Namun ada beberapa dosen yang baru masuk 3 atau 4 kali, sisanya beliau meminta izin untuk tidak masuk dan meminta kami untuk presentasi sendiri. Ada satu dosen yang bahkan ketika beliau berada di kelas, Kondisinya tak lebih baik ketimbang saat beliau tidak ada. Saat para mahasiswa tengah asik presentasi, beliau tampak sibuk dengan perangkat Gadget-nya, selang beberapa menit beliau meningkalkan kelas dan baru kembali saat kami usai presentasi, itupun saat ketua kelas kami memberitahu beliau bahwa presentasi telah usai. Dan saat aku Tanya pada jurusan lain di jenjang yang sama jawabanya adalah, “sama saja mas, podo ae” Menarik bukan.

(4) AKU KULIAH DIMANA SISTEM PEMBELAJARAN DAN ORIENTASI JURUSAN TIDAK JELAS. Aku kerap dibuat bingung dengan cara ajar beberapa dosen, dengan selera mengajarnya, menurutku tidak konsisten. Beberapa dosen Nampak tidak satu suara bagaimana mekanisme atau tata penulisan makalah, tak jarang kontradiksi. Tapi bagiku yang itu memang wilayah yang ijtihadi, selera dosen. Yang paling aku risaukan adalah sedang Dipersiapkan menjadi apa para mahasiswa ini cenderung tidak jelas. Untuk jurusan ILMU PENDIDIKAN DASAR ISLAM (IPDI) yang aku pilih misalnya. Apakah lulusan di proyeksikan menjadi dosen PGMI, pengajar SD/MI atau pengembang kurikulum pendidikan dasar sangat tidak jelas. Kurikulum juga tidak update. Saat kami mengajukan protes misalnya, salah satu dosen hal semacam ini terjadi karena keterbatasan tenaga pengajar dalihnya. Dan saat seperti inilah saatnya aku bilang, “AKU ORA-RA POPO” (aku sedang tidak baik-baik saja)


Terakhir dan Penutup. (5) AKU KULIAH DI JURUSAN ILMU PENDIDIKAN DASAR ISLAM PROGRAM PASCASARJANA IAIN TULUNGAGUNG.

*Tulisan ini saya buat tidak dengan maksud mendiskreditkan seseorang atau sebuah lembaga, melainkan ungkapan kekecewaan seorang mahasiswa yang biaya kuliah dan biaya hidupnya masih mengandalkan  orang tua. Saya merasa berdosa kepada kedua orang tua, jika saya hanya seperti ini. keringat mereka untuk memperoleh biaya kuliah saya, pantas mendapatkan lebih dari ini.

Habibur Rohman (part 1)

            Saat aku masih alay dulu (sekarang tetep dan makin akut), aku pernah menggunakan nama akun facebook “Habibur Rohman Tho’ ”. Kata Tho’ yang aku pakai pada nama akun itu sebenarnya merujuk pada kata dalam bahasa Jawa “TOK”, yang berarti saja. Karena saat itu aku masih alay, jadi aku menulisnya Tho’. Jadi secara harfiah nama akun facebook-ku saat itu berarti “Habibur Rohman saja”.
Nama akun itu sebenarnya adalah ekspresi kejengkelanku terhadap beberapa teman. Begini ceritanya,…. Saat aku berkenalan dengan seseorang  dan aku menyebutkan namaku “Habibur Rohman”, maka respon yang kerap aku dengar dari lawan bicaraku saat itu adalah mengatakan “Habibur Rohman El-Shirazy ya…?” atau “oh yang penulis novel itu ya”. Kejadian semacam ini terjadi berulang-ulang setiap kali aku memperkenal diriku pada teman atau komunitas baru.
Habibur Rohman El-Shirazy yang di maksud adalah penulis yang namanya mashur lantaran novel-novel karyanya macam ayat-ayat cinta, ketika cinta bertasih, bumi cinta dll digandrungi banyak penikmat sastra. Tidak hanya itu, novel-novel karya kang abik (begitu biasa Habibur Rohman El Shirazy disapa) juga di filmkan dengan judul yang sama dan menarik jutaan penonton. Kedua hal inilah yang menyebabkan nama Habibur Rohman El-Shirazy sangat familiar  di dengar oleh telinga orang Indonesia.
Aku saat masih alay
Ada seseorang yang terlebih dahulu memakai nama yang sama denganmu dan dia orang terkenal, Atiiit tau… L . Selamanya aku akan tenggelam dibawah bayang-bayang nama besarnya, terbebani agar bisa melampaui para pendahulu yang menyandang nama itu (percaya kan kalau aku alay). Habibur Rohman El-shirazy bukanlah orang pertama yang memakai nama itu, sebelumnya juga ada perdana menteri (entah negara mana aku lupa.. hehe) yang juga bernama Habibur rohman. Sengaja aku beri contoh penyandang nama Habibur Rohman adalah orang-orang terkenal, supaya terkesan pemilik nama ini selalu jadi orang hebat.. hehehe. Aku pernah berkeyakinan bahwa dari setiap masa selalu ada manusia bernama Habibur Rohman dan menjadi orang hebat di masanya. Ada semacam perasaan nano-nano (Terbebani tapi juga bangga) menyandang nama ini, setidaknya aku terpilih menerima tongkat estafet nama legendaris ini.. (jangan dibantah).
Nama Habibur Rohman yang kini aku sandang berdasarkan cerita ibuku adalah pemberian Embahku. Dan menurut sang pemberi nama, beliau memberikan nama “Legendaris” itu kepadaku tidak didasari, terinspirasi atau mengiblat pada tokoh dengan nama serupa pada zaman itu. Nama itu beliau peroleh dari bisikan saat tidur, “ada seseorang yang memberitahuku kalau cucuku yang akan lahir berjenis kelamin laki-laki dan aku harus memberinya nama Habibur Rohman” kata embahku.
Menurut cerita emak, Si Embah memang telah memberikan nama “Habibur Rohman” kepadaku saat aku masih dalam kandungan. Tentu saja sang embah mendapat penolakan dari beberapa orang termasuk ibuku. Pertama tentu saja karena belum jelas bahwa anak yang ada dalam kandungan ibuku saat itu berjenis kelamin laki-laki (saat itu belum lazim atau bahkan belum di temukan teknologi USG). Kedua karena nama pemberian Embahku itu tidak lazim pada zaman itu (zaman rikolo bendu).
Saat aku mulai tumbuh besar dan menjadi pria ganteng seperti sekarang ini, aku bersukur karena nama pemberian Embahkulah yang akhirnya disematkan padaku, dan bukan nama yang lazim dipakai pada zaman itu. Teman-teman sepermainanku misalnya, oleh orang tuanya diberi nama Sudahono (dalam bahasa Indonesia berarti “Sudahilah”), Karji, Kasti (kayak nama olahraga saja), Agus, Supri, marwoto, Matlaul, Jito dan semacamnya. Kan tidak keren misalkan cowok ganteng, keren, gaul, imut macam aku bernama Paidi, Slamet atau Jupri. Terima kasih mbah… J
Pernyataan embah tentang bagaimana beliau memperoleh nama “Habibur Rohman” tentu saja membuatku girang bukan kepalang. Aku berkeyakinan bahwa yang membisiki embahku tentang nama yang harus beliau berikan kepada cucunya yang akan lahir adalah malaikat (padahal ga ada malaikat yang pekerjaanya bagi-bagi nama). Lebih tidak mungkin lagi kalau yang membisiki nama kepada Embahku kala itu adalah syetan and friends. Karena jika benar syetan and the genk yang membisiki, pasti nama yang di ajukan kepada Embahku bukan Habibur Rohman, melainkan “Ibnu Syaiton”, jahanam, ifrit, Kunta (kunti jantan), Huyam (cari artinya di internet), Himar, Dzalim, Michail Devil dan semacamnya.
Ini cerita tentang namaku. Bagaimana denganmu..???


HANYA TERHENTI DI JEJARING SOSIAL


Nalar kritis mahasiswa pada dasarnya tak  pudar seiring bergonta-gantinya masa. Gagasan atau ide brilian juga masih mewarnai pemikiran-pemikiran mahasiswa. Kritik atas  kondisi sosial- masyarakat, keadaan bangsa, juga kondisi kampusnya  masih lazim di suarakan mahasiswa. Yang membedakan adalah gagasan, ide, kritik dan keluhan mahasiswa hari ini mereka sampaikan lewat jejaring sosial. Mereka rupakan dalam bentuk update status Facebook atau cerocosan di twitter.
Tak banyak lagi cerita mahasiswa yang menuliskan gagasan mereka lewat buku, membahasakan ide brilian mereka dalam sebuah karya ilmiah, dan hanya terhenti di jejaring sosial.
Budaya semacam ini seolah didukung juga oleh tak adanya penekanan dari sistem pendidikan perguruan tinggi (juga para dosen) untuk mengeksplorasi kemampuan literal mahasiswa. Mahasiswa hanya ditekankan pada penguasaan materi dengan acuan IPK.

RELASI SENIOR-JUNIOR DALAM ORGANISASI

        Kisah percintaan yang terjalin diantara senior dan junior dalam sebuah organisasi itu menggelikan. Dengan alasan pengkaderan misalnya, senior kerap kali melancarkan rayuan-rayuan kain bekas (Gombal) kepada adek tingkat. Dalihnya sih biar si adek tingkat  tetap betah bertahan dalam organisasi tersebut, "karena ada seseorang yang membuat si-Junior betah di organisasi" katanya. Namun ada juga yang tidak jujur (munafik) dengan mengatakan bahwa Hubungan yang terjalin diantara keduanya murni tumbuh setelah berproses bersama, melalui proses komunikasi (transaksional) yang panjang, dan akhirnya menemukan kecocokan. Maaf , saya kurang percaya kepada Pembenaran anda. :D
Rayuan Kain Bekas Senior kepada Junior

Kepolosan anak baru, menjadi sisi yang di eksploitasi oleh para senior. Dengan berbekal petuah dari embah buyut, “ciptakan kesan pertama yang menarik, maka kamu aku memukau dia selamanya” sang senior (yang belom laku) melancarkan project hormonal-nya. Tetua organisasi yang belum laku itu (senior) menampakan dirinya sebagai sebuah pribadi yang bijaksana, religious (tiba-tiba rajin sholat), Pintar (sok tau), Rapi dan menarik (mendadak rajin mandi). Alhasil anak baru yang masih polos dan labil (gue banget) terpukau dengan mas senior. Si-Junior beranggapan bahwa dia telah menemukan seseorang yang tepat menjadi pendamping hidupnya, yang mampu mengarahkanya dalam mengarungi belantara kampus yang jahat.

Ada memang organisasi dengan sistem pengkaderan macam ini yang justru eksis bahkan besar dan sehat (Pramuka misalnya). Tapi yang lazim terjadi dalam organisasi yang didalamnya berkembang budaya memacari adek tingkat  adalah ricuh, penuh konflik, tidak professional, dan potensi yang coba dikembangkan dalam organisasi tidak maksimal. Penyebab yang biasa terjadi adalah dibawanya konflik diantara 2 individu yang sedang pacaran ke organisasi. Tak jarang pula terjadi kasus cinta segitiga yang berujung pada sakit hati pihak yang kalah.

 Cinta memang milik semua orang. Membangun relasi percintaan dengan adek tingkat, anak baru, junior dan kepada siapapun memang tidak melanggar norma dan nilai. Namun kata Dadali dalam syair lagunya (Band yang berhasil membuat ricuh di-mantan-kampusku), cinta itu tulus. Rasa itu harusnya didasari atas kejujuran dan  ketulusan, dan bukan tipu-tipu.

NB (ndak bener): Aku dari awal berorganisasi sampai akhirnya lulus kog tidak ada senior yang menjadikan aku pacarnya yaa, padahal aku kan polos dan imut. :D

Miss Panic



Aku menjuluki adikku yang satu ini dengan sebutan “Miss Panic”, maknanya sebagaimana yang tertulis. Aku memang memilih cara yang sedikit berbeda dalam mengekspresikan rasa sayangku terhadap adek-adek organisasiku, aku memberikan nama panggilan yang berbeda dari nama asli mereka, tidak semua memang, tapi kebanyakan. Nama-nama itu biasanya aku plesetkan dari nama aslinya, atau memberinya nama dengan sesuatu yang identik dengan dia.

Sebenarnya aku tidak menyebut nama-nama itu sebagai julukan, aku lebih senang menyebutnya dengan “Panggilan kesayangan”.  Iya, panggilan kesayangan. Bagiku mereka bukan hanya patner kerja di organisasi, mereka lebih dari itu. Bagiku, Kegiatan Ini semacam mempersonalisasikan sesuatu agar terlihat istimewa. Jika aku diperkenankan memberikan analogi, memberikan panggilan khusus kepada seseorang  itu semacam memberikan kalung kepada seseorang yang ada liontin namanya, tapi tidak semelankolis itu.

Ratna, si perempuan penyandang label “Miss Panic” hanya satu dari sekian banyak crew cewek di organisasi tempat aku mengembangkan minat dan bakatku dikampus (meski sekarang sudah tidak lagi L ). Aku menjalin hubungan baik dengan mereka melebihi hubungan yang seharusnya (biasanya ; Red) terjalin antara seorang senior dan junior.  Namun jangan beranggapan bahwa aku adalah senior yang kerap melancarkan rayuan-rayuan kain bekas (gombal) untuk memikat adek tingkat yang masih polos. Aku juga bukan manusia dengan kelainan jiwa penyuka anak-anak kecil (pedofil). Relasi yang terjalin diantara kami murni persaudaraan. hehehe 

Kultur yang terbangun di (bekas) organisasi tempat aku berproses ini memang cukup bagus. Jalinan antar anggota organisasi  bukan hanya sebatas structural. Kami peduli –kerap ikut campur- terhadap semua hal yang bahkan diluar bahasan organisasi. Kesehatan, percintaan, keluarga, keuangan, dan hal-hal pribadinya lainya menjadi topic yang kerap kita perbincangkan bersama diluar perbincangan seputar jurnalistik. Saling kunjung rumah menjadi hal lazim, bahkan beberapa orang juga sudah akrab dengan keluarga temanya tersebut.

Seperti yang sudah aku ceritakan diatas bahwa Ratna “Miss Panic” bukan satu-satunya yang beruntung mendapatkan panggilan kesayangan dariku. Sebelumnya ada Anis Sukmawati yang akhirnya populer dengan panggilan “Suketi”, Nur Ani Nisfu  berganti “Pepet”, juga Arif Riza Azizi yang kini lebih terkenal dengan nama “Santoso”, atau yang terbaru Nazilatur Rizqia yang beruntung mendapat panggilan kesayangan “Qiqi Si Hua-Hua”. Hehehe.

Kini saat aku sudah tidak lagi satu “dimensi” dengan orang-orang itu, aku masih kerap menjalin komunikasi via sms atau jejaring social. Tulisan ini adalah perwujudan betapa kalian telah menjadi bagian penting dalam perjalananku menjadi manusia. 
Tak Berdimensi

(Untuk Elok, yus, salwa,  sofy, alpin, kernet, pikri, boymen, cimi, hari, basri, bisri, dian, ratna, misana, nurul, marlindut, dan semuanya.)
                                                                                                    Mataram, 15 Maret 2014. 04.06 Wita

Tulisan Lawas Tapi Tetep Keren

Member Habib Fans Club

Habib On Twitter