Kemarin, seorang kawan
karib-ku lewat akun FBnya menuliskan kegelisahanya terhadap kondisi bangsa
Indonesia saat ini, khususnya dunia pendidikan. Dia memaparkan berbagai permasalahan
seperti nangkringnya nama seorang tokoh capres dalam lembar soal UN, kasus
pelecehan seksual di JIS, arisan sek pelajar dll. Status dalam genre serupa
juga dia buat beberapa hari sebelumnya. Tulisan ini saya buat sebagai komentar
(dan ungkapan ketidak setujuan) atas pemikiranya.
Mas...
coba baca surat kabar, coba lihat televisi...
konten berita hanya di dominasi
berita-berita kirminal, kecurangan, penipuan, korupsi, pelecehan seksual,
kecurangan UN dan Berbagai permasalahan akut lainya. Menyenangkanya hal semacam
itu dilakukan dalam intensitas yang sangat sering, Belum tuntas kasus century,
sudah ada kasus hambalang, disusul korupsi MK dan banyak kasus lain misalnya.
Masalah disuguhkan terus menerus tanpa tawaran solusi. Akhirnya, masyarakat Indonesia
meyakini bahwa negara ini memang sudah terlewat parah, akut dan tak ada harapan
lagi untuk optimis. Negara ini hanya kumpulan masalah, sampai-sampai semua
orang bisa dengan menyebutkan dengan mudah apa kebobrokan Indonesia. Seolah
memang sudah tidak ada baik-baiknya di Indonesia ini.
Dalam lembaran Koran, bekas bungkus
nasi pecel aku pernah membaca, " Lebih baik menyalakan lilin dari pada
sekedar mengutuk kegelapan". Lebih baik berkontribusi meski sedikit, dari
pada hanya sekedar mengutuk keadaan. sebagaimana yang (rutin) anda lakukan.
Pada fase ini aku pikir sudah tidak
perlu lagi kita menunnjukan apa permasalahan-permasalah yang ada di negara kita
tercinta ini, KITA SEMUA SUDAH TAU. Hal semacam itu sudah menjadi rahasia umum.
Saya berpikir bukankah lebih baik jika kita berkontribusi (meski sedikit) untuk
mengatasi permasalahan yang menurut ada sudah kelewat banyak ini. Mari kita
menunjukan kepada khalayak bahwa kita masih ada harapan, meski ada banyak
masalah yang sedang menerpa Indonesia, masalah itu masih bisa diatasi, dengan
memberikan tawaran solusi atau gerakan-gerakan kongkrit mengurai permasalah.
Bukan hanya sekedar menyebutkanya setiap hari, lewat status-status FB.
Pakde Begawan Antropolog
koentjoroningrat menyebutkan bahwa salah satu kelemahan pendidikan pasca
revolusi (bangsa bekas jajahan) adalah kelemahan mentalitasnya. Seperti sifat
meremehkan mutu, menerabas, tidak percaya diri, tidak berdisiplin, dan kurang
bertanggung jawab. (dimuat dalam artikel
“apakah kelemahan mentalitet kita sesudah revousi” pada Koran kompas 9 februari
1974). Mari Kita ubah, agar kita tidak lagi menjadi bangsa yang inferior,
pesimis.
*Tulisan ini saya buat tidak
bermaksud menjelek-jelekan seseorang, tapi lebih kepada upaya membangun tradisi
berargumentasi logis. Menyampaikan persetujuan argumentasi seseorang tidak
cukup lewat jempol (like), Pada kasus
ini aku menyatakan ketidaksetujuan-ku atas argumentasi seseorang kawan karibku
lewat uraian ini.