Antara Tuhan dengan hamba-Nya
terbentang dua hijab pokok, ada pun hijab-hijab yang lain itu bercabang dari
dua hijab pokok tersebut, yaitu: kesehatan dan harta.
Orang yang sedang sehat berkata, “Mana
ada Tuhan. Aku tak pernah bertemu dengan-Nya, tak pernah jua melihat-Nya.”
Begitu dia sakit keras, dia merintih, “Wahai Tuhan, wahai Tuhan.” Lalu dia mulai berbicara
dengan-Nya, bahkan lalu menceritakan rahasia-rahasianya kepada-Nya. Maka Jelaslah,
kesehatan adalah hijabnya dan Tuhan tersembunyi di balik sakitnya.
Selama manusia makmur, dia bersandar
pada kepemilikannya, dan menggunakan semua miliknya untuk mencapai hasratnya.
Siang malam dia sibuk bersama hartanya. Begitu dia jatuh miskin, maka egonya
melemah, dan dia berpaling pada Tuhan.
Maulana Jalaluddin Rumi
----------------------------------------------------------------------------------------------------
Selimutnya keren kan? #gagal fokus |
Minggu, 14 Agustus 2016, dalam sebuah perjalanan ke
Pantai Prigi-Trenggalek dengan sebuah misi suci tadabur alam (baca; piknik),
saya mengalami “kecelakaan”. Motor yang saya kendarai bertabrakan dengan
pengendara motor lain dari arah yang berlawanan. Gusti Allah sebenarnya sudah
berkirim pesan kepada saya agar tidak melanjutkan perjalanan, lewat beberapa pertanda
yang Dia kirimkan.
Tapi saya tetap berkeras melanjutkan perjalanan. Gusti Penguasa Jagad
merencanakan-Nya dengan sangat presisi, terencana, ada yang hendak Allah
tunjukan kepada saya.
Kemarin dan esok adalah hari ini. Bencana dan keberuntungan sama saja (W.S. Rendra).
Awalnya saya tidak benar-benar
tau apa yang terjadi pada saya, yang saya rasakan saat itu hanya wajah sebelah
kiri saya terasa sangat panas. Satu diantara 5 teman seperjalanan saya mendekat
dan duduk di dekat saya, dengan sedikit terisak dia mengatakan, “Mas, sampean
parah lo.”
Dibantu dua orang warga sekitar, saya
diantar menuju bidan desa tak jauh dari lokasi. Sang Bidan desa tanpa banyak
babibu dengan sigap memberikan P3K. Setelah membersihkan darah di beberapa area
tubuh saya, memeriksa luka di wajah, dan memberi saya obat penghilang nyeri, Bu
Bidan menyarankan agar saya segera dirujuk ke rumah sakit di Tulungagung. “Sampean
perlu segera di rongsen, Mas” begitu ungkapnya singkat.
Saya beruntung punya teman-teman baik
yang jumlahnya berserakan. Mereka seolah telah disiap-siagakan oleh Allah di
setiap saat, setiap waktu untuk membantu saya.
Seorang kawan datang ke lokasi hanya belasan menit setelah peristiwa
kecelakaan. Dia-lah yang mencarikan mobil untuk membawa saya ke Tulungagung,
mengurus motor saya yang ringsek, dan tentu saja menjalin komunikasi dengan
pihak yang bertabrakan dengan saya.
Dalam perjalanan menuju Tulungagung saya
masih sesekali bercanda dengan Pak Sopir, meski darah tidak berhenti menetas
dari hidung. Teman-teman tentu tau bahwa saat masih menyempatkan diri untuk
update status, ganti PM BBM, dan membalas pesan WA. Saya melakukannya agar
tidak panik dan tentu saja agar terlihat (sok) tegar dihadapan adik-adik saya
yang menemani saya di mobil. Namun nyali saya menciut, kesombongan dan
ketegaran saya berguguran, setibanya kami di RS. Dr. Iskak Tulungagung. Mbak
Dokter yang merawat saya di IGD mengajukan pertanyaan yang tak pernah saya
bayangkan sebelumnya. “Mas, bersedia dioperasi kan?”, ungkapnya meyakinkan,
“dari hasil rongsen, tulang rahangnya patah dan tulang pipi sampean remuk.”
Meski begitu saya masih beruntung karena dari hasil CT-Scan tak ada pendarahan
berarti di kepala saya.
Sejak malam itu saya tak lagi bisa
berdiri, untuk keperluan duduk saja saya harus dibantu orang lain, dan itupun
tak bisa berlama-lama karena darah akan menetas dari lubang hidung saya. Di
hari kedua bahkan saya harus menggunakan selang oksigen karena saya mulai
kesulitan bernafas. Nyeri di kepala dan beberapa anggota tubuh juga menghajar
saya tanpa henti. Gusti Allah yang keberadaanya sering kali saya nafikan saat
saya sehat, tak pernah saya libatkan dalam urusan-urusan yang saya kerjakan,
menjadi tempat merintih. Saya tiba-tiba rajin ber-istighfar dan mengagungkan
nama-Nya saat saya tak lagi kuasa menahan rasa sakit. Dia yang kala sehat saya
campakkan, menjadi tempat saya bersandar dan berserah diri yang menentramkan.
Puncaknya saat detik-detik menjelang operasi, saya mengihlaskan keberlangsungan
hidup saya Pada-Nya, Sang Pemilik.
Saya mungkin terdengar terlalu
mendramatisir cerita. Patah tulang pipi dan rahang dianggap jauh dari nyawa.
Tapi saya mengalaminya secara langsung, selama di RS saya mengalami
peristiwa-peristiwa spiritual yang menjadikan saya berkeyakinan bahwa kematian
itu sangat dekat dan nyata. Dia bisa datang dalam aneka rupa dan masa.