Tugas (Tiada) Akhir #3

Di Indonesia banyak sekali mahasiswa yang tidak suka membaca buku, lalu dengan apa mereka membuat tugas akhir? Dan bagaimana bisa mereka mendapat gelar sarjana tanpa pernah menjadi pengkaji dan pembaca buku?"
----------------------------------------------------------------------------------------------------------
Kurang lebih seperti itulah kebingungan saya, bagaimana bisa para mahasiswa yang tidak memiliki tradisi membaca dan menulis sebelumnya, tiba-tiba saja bisa memproduksi karya tulis ilmiah (Skripsi/Tesis) yang tebalnya “Masya Allah” itu.  Dalam kurun waktu yang terbilang singkat pula. Ada cukup banyak teman yang mengaku mampu merampungkan penulisan tugas akhirnya hanya dalam kurun waktu 1-2 minggu saja. Emejing bingo kan…. :D

Saya meyakini bahwa membahasakan isi kepala menjadi rangkaian aksara bukanlah perkara mudah, kemampuan mengutarakan maksud lewat media tulisan tidak dimiliki setiap orang, apalagi jika tulisan tersebut bergenre “Ilmiah”, yang harus melewati proses penelitian yang panjang, yang menuntut analisis, olah pikir yang tidak sederhana, seabrek teori dan setumpuk referensi.  Maka menjadi sangat wajar jika mahasiswa tingkat akhir dibuat bener-bener frustasi, galau, pusing dan bahkan hampir nyerah dalam proses penyusunan tugas akhirnya. Emang sulit kog. Mereka yang nyante-nyante itu yang tidak wajar.
IAIN Tulungagung

Mohon maaf jika saya berburuk sangka. Saya saja yang penulis (status pesbuk) ternama, menerbitkan banyak buku (buku gambar dan buku catatan), sudah rajin menulis sejak dalam kandungan masih kesulitan dalam menyusun tugas (tiada) akhir itu, apalagi teman-teman baru belajar nulis kemaren sore. Kog bisa-bisanya tugas akhirnya lebih dulu rampung ketimbang punya saya… hehehe
Bukankah semestinya kita harus adil kepada diri sendiri, karena kata Mbah Pram “seorang terpelajar harus sudah berbuat adil sejak dalam pikiran apalagi dalam perbuatan”. Dengan meng “copas” tulisan orang lain dan mengakuinya sebagai karya kita, kita telah dzolim kepada penulis aslinya. Nah loooh….

Di penghujung tulisan ini saya mengajak kepada teman-teman yang saat ini sedang mengerjakan tugas akhir untuk membuka tautan ini “ http://goo.gl/hSJmYA “. Kemudian silahkan copy-paste latarbelakang tugas akhir teman-teman. Langkah selanjutnya tekan tombol “checker plagiarism” dan tunggu hasilnya. Disana akan muncul prosentase keunikan tulisan kita. Jika keunikannya dibawah 60%, itu berarti masih banyak tulisan kita yang sudah pernah diposting orang di internet.  

Tapi bagaimanapun yang paling tau tulisan itu hasil olah pikir kita sendiri atau bukan ya cuman kita dan tuhan penguasa ilmu pengetahuan saja. 

Minal Aidin Wal Faidzin… :D

IKATAN MAHASISWA KOTA ANGIN (IMAKA) IAIN Tulungagung


(Ikatan Mahasiswa Kota Angin)
“Siapa yang suka dilapangkan rizkinya dan dipanjangkan umurnya hendaklah dia menyambung silaturrahmi.” (HR. Bukhari no. 5985 dan Muslim no. 2557)

Di penghujung tahun 2011, saya dan beberapa teman bersepakat untuk mendirikan sebuah  komunitas yang menghimpun mahasiswa asal Nganjuk yang kuliah di IAIN Tulungagung. Dengan sebuah alasan yang terbilang sederhana, Kita yang berasal dari daerah asal yang sama perlu saling mengenal, agar bisa saling membantu selama di tanah perantauan. Saat kali pertama organisasi ini dideklarasikan jumlah anggotanya tak lebih dari 30 mahasiswa. Jika perkiraan saya benar, jumlah Mahasiswa IAIN Tulungagung asal Nganjuk sekarang ini sudah lebih dari 100 mahasiswa, banyak kan? Sampean kenal berapa orang diantaranya?
Ikatan Mahasiswa Kota Angin cabang
IAIN Tulungagung

Beberapa kali kami berkumpul untuk sekedar ngobrol dan bercengkrama. Pernah juga buka puasa bersama dan saling mengunjungi rumah masing-masing.  Selama di Tulungagung kami sudah seperti saudara, yang saling membantu, berbagi cerita, berbagi makanan, dan setumpuk hal-hal menarik lainya. Namun setahun belakang komunitas ini benar-benar mati suri, mati segan hidup pun tak mau.
Saya berharap teman-teman bersedia menghidupkan komunitas ini lagi. Agar Kita bisa saling mengenal sesama orang Nganjuk, agar kita bisa saling membantu dan bersilaturahmi. Bukankah memiliki banyak teman dari daerah yang sama itu menyenangkan?

Sekedar informasi bagi teman-teman, tahun ini dari jalur SPAN-PTKIN saja terdapat 49 mahasiswa asala Nganjuk, belum dari jalur UM-PTKIN dan mandiri, pasti jumlahnya tak kalah banyak. Pasti ada beberapa diantara mereka yang perlu bantuan kita (yang sudah lebih dulu hidup di Tulungagung), mencari tempat kos, memilih pondok pesantren, mencari referensi tugas dan lain sebagainya. Dan untuk itulah organisasi ini didirikan.

Mohon teman-teman berkenan meninggalkan nomer hape di kolom komentar, agar saya bisa menghubungi teman-teman untuk berkumpul nanti di awal kuliah. Terima kasih.
Salam Kenal dari saya……



MEMBERI TANPA MERENDAHKAH SI PENERIMA


Memberi itu mudah, tapi memberi tanpa merendahkan si penerima itu yang kira-kira belum semua orang bisa. Tentu saja saya senang sekali ada cukup banyak acara di bulan Ramadhan ini yang diperuntukan bagi anak-anak yatim dan orang-orang kurang mampu. Biasanya bertajuk “Buka Bersama dan Santunan”. (Semoga) ini murni merupakan wujud kepedulian orang-orang yang oleh Allah diberi rezki lebih, kepada mereka yang lebih membutuhkan, tidak yang lain. Namun ada beberapa bagian dari rangkaian kegiatan atau kemasan acara ini yang menurut saya kurang pas. Piye ngunu loo…. :O
Memberi tanpa "Koar-koar"
Misalkan saja dalam prosesi pemberian “santunan”, satu persatu dari penerima bantuan dipanggil untuk maju untuk diberi amplop atau parsel. Pada sesi ini biasanya si penerima bantuan mencium tangan si pemberi yang semua prosesinya diabadikan dengan video atau foto, untuk dokumentasi dan pertanggungjawaban ke donator kilahnya. Tapi saya kok khawatir kalau dengan cara seperti ini kita terjebak pada jurang kenistaan “Riya’”,  berbuat baik tapi tidak Karena Allah, tidak karena panggilan jiwa, dan hanya karena pengen dipuji. Kan gak keren..
Memberi bantuan dengan cara seperti ini menurut saya kog (berpeluang) bisa merendahkan martabat si penerima bantuan. Menjadikan mereka semakin terpuruk karena tidak membesarkan hati mereka. Bukankah elok misalnya kita memberi bantuan kepada orang lain tanpa menjadikan orang tersebut berpikir bahwa kita sedang berbelas kasih kepada mereka. Saya memilih cinta saya ditolak, oleh gadis pujaan dari pada diterima karena belas kasihan. Atit tau…
Terkadang memang perlu, menunjukan kepada orang lain perbutan baik yang kita lakukan. Tujuanya agar orang lain “terprovokasi” untuk melakukan hal yang sama. Agar juga ikut berbagi kebahagiaan kepada orang lain yang lebih membutuhkan. La bersedekah secara sembunyi-sembunyi kapan? Pernah?
Saya juga menghawatirkan psikologi para penerima bantuan, kenapa juga label “Anak Yatim” atau “Orang Tidak Mampu” selalu dicantumkan dan dijadikan brand acara. Seolah “Anak Yatim” diposisikan sebagai komoditi, yang diekploitasi untuk keperluan kemeriahan acara, untuk gaya-gayaan agar pemberi bantuan terlihat superior karena kita menyantuni seseorang yang lemah.

Sebagai penutup dari tulisan ini saya mengajak teman-teman untuk terus bersedekah, berbagi dengan orang lain yang membutuhkan. Tapi tidak dengan merendah martabat si penerima bantuan, sukur-sukur kalo saat kita member bantuan tidak ada seorang pun yang tau, murni karena Allah. Misalnya saja dengan membelikan saya pulsa, tanpa “koar-koar” kalo sampean yang belikan. Yuuuk Mari…

Tulisan Lawas Tapi Tetep Keren

Member Habib Fans Club

Habib On Twitter