Memberi itu
mudah, tapi memberi tanpa merendahkan si penerima itu yang kira-kira belum
semua orang bisa. Tentu saja saya senang sekali ada cukup banyak acara di bulan
Ramadhan ini yang diperuntukan bagi anak-anak yatim dan orang-orang kurang
mampu. Biasanya bertajuk “Buka Bersama dan Santunan”. (Semoga) ini murni merupakan
wujud kepedulian orang-orang yang oleh Allah diberi rezki lebih, kepada mereka
yang lebih membutuhkan, tidak yang lain. Namun ada beberapa bagian dari
rangkaian kegiatan atau kemasan acara ini yang menurut saya kurang pas. Piye ngunu
loo…. :O
![]() |
Memberi tanpa "Koar-koar" |
Misalkan saja dalam
prosesi pemberian “santunan”, satu persatu dari penerima bantuan dipanggil
untuk maju untuk diberi amplop atau parsel. Pada sesi ini biasanya si penerima
bantuan mencium tangan si pemberi yang semua prosesinya diabadikan dengan video
atau foto, untuk dokumentasi dan pertanggungjawaban ke donator kilahnya. Tapi
saya kok khawatir kalau dengan cara seperti ini kita terjebak pada jurang kenistaan
“Riya’”, berbuat baik tapi tidak Karena
Allah, tidak karena panggilan jiwa, dan hanya karena pengen dipuji. Kan gak
keren..
Memberi bantuan
dengan cara seperti ini menurut saya kog (berpeluang) bisa merendahkan martabat
si penerima bantuan. Menjadikan mereka semakin terpuruk karena tidak
membesarkan hati mereka. Bukankah elok misalnya kita memberi bantuan kepada orang
lain tanpa menjadikan orang tersebut berpikir bahwa kita sedang berbelas kasih
kepada mereka. Saya memilih cinta saya ditolak, oleh gadis pujaan dari pada diterima
karena belas kasihan. Atit tau…
Terkadang memang
perlu, menunjukan kepada orang lain perbutan baik yang kita lakukan. Tujuanya
agar orang lain “terprovokasi” untuk melakukan hal yang sama. Agar juga ikut
berbagi kebahagiaan kepada orang lain yang lebih membutuhkan. La bersedekah
secara sembunyi-sembunyi kapan? Pernah?
Saya juga
menghawatirkan psikologi para penerima bantuan, kenapa juga label “Anak Yatim”
atau “Orang Tidak Mampu” selalu dicantumkan dan dijadikan brand acara. Seolah “Anak Yatim” diposisikan sebagai komoditi, yang
diekploitasi untuk keperluan kemeriahan acara, untuk gaya-gayaan agar pemberi
bantuan terlihat superior karena kita menyantuni seseorang yang lemah.
Sebagai penutup
dari tulisan ini saya mengajak teman-teman untuk terus bersedekah, berbagi
dengan orang lain yang membutuhkan. Tapi tidak dengan merendah martabat si
penerima bantuan, sukur-sukur kalo saat kita member bantuan tidak ada seorang
pun yang tau, murni karena Allah. Misalnya saja dengan membelikan saya pulsa,
tanpa “koar-koar” kalo sampean yang belikan. Yuuuk Mari…
0 Response to "MEMBERI TANPA MERENDAHKAH SI PENERIMA"
Post a Comment