Berdamai dengan problematika sampah

Berdamai dengan problematika sampah


TPA Segawe ibarat “stasiun” terakhir dalam perjalanan sampah di Tulungagung. Dalam perannya seba-gai tempat pembuangan sampah, TPA Segawe diharapkan dapat menjadi ujung tombak dalam upaya pelestarian lingkungan, khususnya pengolahan sampah. Limbah manusia yang satu ini bukan saja dapat menjadi permasalahan bagi masyarakat, tetapi dalam jangka panjang dapat mencemari lingkungan. Oleh karena itu, diperlukan suatu sistem yang tepat dalam penanganannya.
segawe
Gunungan sampah di TPA Segawe
Pernahkah kita berpikir kemana sampah-sampah di daerah Tulun­gagung dibuang?, atau pernahkah terlintas di pikiran kita kemana pa-sukan kebersihan Tulungagung dengan truk sampahnya membuang muatan? Sampah-sampah tersebut menuju suatu tempat yang disebut dengan TPA (Tempat Pembuangan Akhir; red) tepatnya di Sebuah TPA yang terletak di desa Segawe keca-matan Pagerwojo kabupaten Tulun-gagung. Untuk bisa sampai kesana dengan menggunakan sepeda mo­tor diperlukan waktu sekitar 20 me-nit dari pusat kota. Jalan yang harus kita tempuh pun tak begitu mudah, selain berkelok dan cukup menan-jak, di beberapa ruas jalan juga ter-dapat lubang-lubang. Namun, se-mua seakan terbayar lunas dengan panorama di kanan-kiri jalan, tampak pepohonan hijau yang masih rindang dan terawat. Selain itu di beberapa bagian juga tampak hamparan tana-man padi yang ditanam mengguna-kan sistem terasering, menambah harmoni keindahan di tempat ini.
TPA Segawe; Pemberhentian Tera­khir
Saat memasuki kawasan TPA Segawe, nampak jelas tumpukan sampah yang menggunung. Sesekali terlihat seseorang berseragam hijau lengan panjang meratakan gunun-gan sampah tersebut mengguna-kan alat berat. Gundukan Sampah-sampah yang telah rata dengan tanah oleh pengelola TPA ditanami rumput gajah, hal itu dimaksudkan untuk mempercepat proses pengu raian sampah, yang bisa berlang-sung selama puluhan tahun. TPA ini diramaikan pula oleh para pemu-lung, yang dengan setia menunggu truk-truk pengangkut sampah tiba, truk-truk yang membawa asa hidup mereka.
TPA Segawe sendiri terbagi menjadi 3 bagian utama, pertama tentu adalah tempat penampun-gan sampah, tempat ini berbentuk jurang-jurang dengan kedalaman sekitar 25 meter. Dulunya terdapat 2 tempat seperti ini, namun salah satunya telah penuh dengan sampah. Tempat kedua dari TPA ini adalah tempat penampungan air rembesan dari tumpukan sampah di TPA Se-gawe. Letaknya berada di bawah tempat penampungan sampah. Saat hujan mengguyur kawasan ini, air yang melewati tumpukan sampah akan mengeluarkan bau busuk. Se-hingga apabila tidak dibuatkan tem-pat penampungan, air tersebut akan langsung mencemari sungai dan sumur-sumur warga. Hal semacam ini pernah terjadi sebelum dibuat-kan kolam-kolam penampungan air rembesan, air sampah yang pekat kehitaman langsung mencemari sun-gai terdekat. Tempat penampungan ini berbentuk semacam kolam-kolam yang jumlahnya ada 6 buah, yang masing-masing kolam mempunyai fungsi dan ukuran yang berbeda-beda. Air-air dari kolam tersebut dia-lirkan melalui pipa-pipa paralon yang sebelumnya airnya sudah melalui tahap-tahap penyaringan dan pen-gendapan. Sehingga, tidak dikha-watirkan akan mencemari air tanah dan sungai setempat ( Lihat Bagan 1).
Di TPA yang didirikan pada tahun 1992 ini setiap harinya tidak kurang dari 30 truk pengangkut sampah membuang muatannya disana. Sampah sebanyak itu berasal dari pasar-pasar di kabupaten Tulun-gagung, serta sampah rumahan di daerah kota (kecamatan Tulunga-gung; red). Sampah-sampah terse-but diambil dari pos-pos penampun-gan sampah sementara. Seperti di pos penampungan sampah semen-tara di dekat Pasar Wage. beberapa petugas tampak sibuk membersih kan sampah di daerah Pasar Wage dan sekitarnya. Mengumpulkannya ke dalam gerobak sampah untuk selanjutnya dipindahkan ke truk-truk sampah dan diangkut ke TPA Segawe. Dengan begitu banyak sampah yang datang setiap harinya, bisa kita bayangkan berapa ban-yak tumpukan sampah yang telah terkumpul setelah beberapa tahun. Tempat yang dulunya berupa jurang-jurang dengan kedalaman sekitar 25 meter, kini praktis sebagian telah tertutup dengan sampah.
Dari sekian banyak tempat di TPA Segawe, mungkin tempat ini bisa dikatakan yang paling nyaman. Se-lain sejuk dan rindang, di tempat ini lalat yang berterbangan tak seban-yak di bagian lain. Terdapat kantor-kantor bercat kuning keemasan yang berpadu dengan sebuah tempat pen-golahan sampah dedaunan menjadi kompos. Di tempat ini terdapat peng-gilingan sampah serta semacam tabung-tabung untuk memproses daun menjadi kompos.
Sebagai TPA, Segawe merupa-kan sebuah terminal akhir sampah di Tulungagung. Kelestarian lingkun-gan di kota Ingandaya tergantung bagaimana pengolahan sampah di tempat ini. Bagaimana masyarakat dan pemerintah dapat menyediakan sebuah sistem yang baik dalam pen-anganan sampah dan limbah kelu-arga.
tampaknya tidak hanya menarik bagi lalat, tetapi juga mengundang orang-orang yang melihat peluang rupiah dari sampah tersebut. Sedikitnya 50 orang menggantungkan hidupnya dari barang yang menurut sebagian orang menjijikan itu. Mereka men-gais, membongkar, serta memilah-milah sampah yang masih bisa didaur ulang. Untuk kemudian dijual kepada para pengepul yang biasa datang setiap dua minggu sekali. Sampah jenis plastik dihargai empat ratus sampai enam ratus rupiah per kilonya, sedangkan untuk jenis botol air mineral bekas dihargai sekitar Rp. 3300,- per kilonya. Dengan harga seperti itu para pekerja sampah (pe-mulung) bisa mengumpulkan uang sekitar dua sampai tiga ratus setiap dua minggunya.
Seperti halnya Sringah yang sudah menjalani profesinya sebagai pemulung selama kurang lebih tiga tahun, Ia mengaku mendapatkan penghasilan yang lumayan dari ha-sil mulung. “Yo kiro-kiro loro sampek telung atus ewu per 2 mingguan, biasane mulai jam 6 esuk sampe 4 sore. Yo lumayan mas daripada nganggur (ya…kira-kira 2 sampai 3 ratus ribu tiap dua minggu. Biasanya mulai bekerja dari jam 6 pagi sam-pai 4 sore. Ya lumayan daripada menganggur; red).” Tuturnya. Hal senada juga diungkapkan pasangan suami istri Supriadi dan Krinah, “Kalo penghasilan kiro-kiro loro sampek telungatus ewu, aku kerjo neg kene wis rong tahunan (kalau penghasilan kira-kira dua sampai tiga ratus ribu, saya kerja di sini sudah dua tahunan; red).” Ungkap pasangan suami istri ini.
Para pemulung biasa mengha-biskan waktu istirahat mereka da-lam sebuah gubuk-gubuk tidak per-manen, yang berjajar di tepian jalan beraspal yang masih berada dalam lokasi TPA Segawe. Selain tempat melepas penat dan mengganjal perut dengan bekal makanan yang mere-ka bawa dari rumah, gubuk-gubuk ini juga mereka gunakan untuk menam-pung sampah-sampah yang telah mereka kumpulkan. “Selamat datang di kandang celeng!”, itulah sapaan yang mereka sampaikan saat kru DIMeNSI datang. Tanpa ada maksud menghina atau semacamnya, tapi sapaan itulah yang biasa mereka lontarkan ketika ada orang selain pe-mulung datang berkunjung. Mungkin tak ada yang spesial dari gubuk ini, namun di tempat inilah tercipta rasa kebersamaan sesama pemulung. Mereka biasa mengobrol sembari menungggu datangya truk truk sampah. Kondisi di gubug ini juga sama, berbau dan banyak lalat berterbangan.
Sebelum sampah-sampah dio-lah, sampah yang baru datang langsung dipilah-pilah. Misalnya, sampah organik berupa daun dan makanan akan dipisahkan dengan sampah non-organik seperti plastik, botol air mineral, dan sebagainya. Untuk hal ini peran pemulung dalam proses pengolahan sampah ini dapat dikatakan cukup sentral. Merekalah yang memilah mana sampah yang masih dapat di daur ulang dan mana sampah yang tak bernilai ekonomi lagi. Hal tersebut karena karakteris-tik kedua bahan tersebut yang memi-liki tingkat kesukaran daur ulangnya yang berbeda.
Tokoh lain yang pantas menyan-dang predikat “pahlawan yang tera-baikan” adalah para pekerja dari dinas PUBMCK (Dinas Pekerjaan Umum Bina Marga Cipta Karya; red). Merekalah yang mengumpulkan sampah dari seluruh Tulungagung . Selain itu seluruh operasional TPA Segawe dalam pengelolaan mereka. Mereka tidak mengenal hari libur, tia-da hari minggu, bahkan lebaran pun mereka tak libur. “Kami libur sehari saja Tulungagung bisa geger karena sampah mas,” Ujar salah satu petugas PUBMCK.
TPA dan Problematika Sampah
                  Seperti sudah disinggung di atas, bahwa sampah selain mendatangkan rupiah bagi sebagian masyarakat se-tempat juga menimbulkan berbagai problema lingkungan. Tak jauh dari TPA terdapat pemukiman penduduk, salah satu yang paling dekat ada-lah dusun Soko. Sebenarnya antara TPA Segawe dan dusun Soko hanya dipisahkan sebuah jurang yang ja-raknya kurang lebih 1 KM. Sehingga dusun Soko masih dalam jarak pan-dang dari TPA Segawe. Namun, un-tuk sampai ke dusun Soko dengan sepeda motor, harus menempuh jalan memutar yang jaraknya seki-tar 3 KM. Dengan jarak yang hanya dipisahkan sebuah jurang, bisa dite-bak saat angin berhembus kencang, maka aroma gunungan sampah di TPA Segawe akan segera meny-engat di hidung masyarakat dusun Soko dan hal itu biasa terjadi antara pukul 8-9 pagi dan pukul 7-9 malam. Selain bau sampah juga tidak bisa dipisahkan dari lalat, hal itu pula yang terjadi di TPA Segawe. Meski rutin diadakan penyemprotan lalat, entah masih berapa banyak lalat yang tetap bertebaran di tempat ini. Dan tentunya lalat itu juga sampai ke rumah-rumah warga. Namun, aneh-nya warga sekitar mengaku tak terla-lu terganggu dengan aroma sampah serta lalat yang setiap harinya me-nyapa mereka.
Seperti yang diungkapkan pak Lani, “Lek masalah lalat kuwi mesti mas, tapi antarane jam 8-9 isuk, karo jam 7-9 wengi. Lek masalah kes-ehatan ndak enek tapi pengene ada pengobatan gratis buat warga sekitar (kalau permasalahan lalat itu sudah pasti mas, akan tetapi hanya seki-tar pukul 5-6 pagi dan antara pukul 7-9 malam. Sedangkan harapannya adalah adanya fasilitas pengobatan gratis dari pihak pengelola untuk warga sekitar; red).” Tutur warga yang menjabat sebagai Ketua RT 02 dusun Sambi ini.
Masyarakat sekitar TPA Segawe mengharapkan agar pihak pengelola tetap melakukan penyemprotan se-cara berkala, dengan harapan lalat yang bertebaran tidak terlalu banyak. Selama ini masyarakat sekitar jarang atau bahkan tidak pernah mengeluh kepada pihak pengelola akan bau serta lalat akibat TPA Segawe. Na-mun hal itu tak berarti masyarakat tidak terganggu, selain karena mereka melihat keseriusan pihak pengelola TPA dalam mengatasi masalah yang timbul dari tumpukan sampah ini, masyarakat sekitar juga menyadari akan semakin banyaknya sampah dan semakin meluasnya la-han pemukiman. Masyarakat tetap mengharapkan adanya hubun-gan yang harmonis secara terus menerus antara pihak pengelola TPA yang dalam hal ini pemerintah dengan masyarakat sekitar, dengan membangun fasilitas umum serta diadakan pengobatan gratis untuk masyarakat sekitar TPA.
Harapan Masa Depan
                   Sadar bahwa sampah yang akan terkumpul di setiap tahunnya akan mengalami peningkatan, pihak pen-gelola mencoba melakukan beber-apa terobosan untuk sedikit meng-hambat penumpukan sampah yang terlalu banyak. Sampah plastik yang dikenal sebagai sampah yang san-gat sulit diuraikan oleh tanah, bah-kan sampai beberapa tahun pun akan sulit menyatu dengan tanah. Untuk itu diperlukan sebuah metode khusus untuk menyiasati hal ini, me-tode ini dinamakan semi-terirenfil. setiap 50 cm sampah akan ditimbun dengan 20 cm tanah, hal semacam ini dimaksudkan saat sampah telah terkumpul banyak, tempat tersebut bisa dengan segera ditanami, seh-ingga tak ada lahan yang terbeng-kalai. Selain itu pihak pengelola juga telah menyediakan tempat pencu-cian truk, sehingga saat kembali ke kota truk-truk sampah tersebut su-dah tidak berbau busuk.
Pemerintah lewat dinas PU-PPW atau sekarang yang lebih dikenal dengan PUBMCK (Di-nas Pekerjaan Umum Bina Marga Cipta Karya; red) turut pula dalam upaya pengolahan sampah di TPA ini, khususnya sampah organik (sampah dedaunan; red). Semua sampah dedaunan yang masuk ke TPA ini diolah untuk dijadikan pupuk kompos. Namun karena terkendala kurangnya bahan baku, jumlah pu-puk yang dihasilkan pun masih san-gat sedikit. Dan pendistribusiannya hanya terbatas untuk tanaman di taman kota. Terlepas dari kuanti-tas kompos yang dihasilkan, kita juga perlu melihat adanya keseriu-san pemerintah dalam upayanya mengolah sampah yang ada. Bisa kita bayangkan, jika usaha seperti ini (pengolahan atau pemanfaatan sampah) dimulai dari rumah-rumah warga. seperti mengolah sampah menjadi bahan kerajinan, atau mengolah sampah organik menjadi pupuk kompos. Selain bisa turut ambil bagian dalam upaya penye-lamatan bumi, usaha seperti ini jika dijalani secar serius bisa dijadikan sebagai mata pencaharian tamba-han bagi masyarakat sekitar.Dan yang lebih penting lagi adalah ba-gaimana masyarakat berperan ak-tif dalam pelestarian lingkungan. (Habib)

Dipublikasikan di Majalah LPM Dimensi IAIN Tulungagung Edisi XXVIII

Tulisan Lawas Tapi Tetep Keren

Member Habib Fans Club

Habib On Twitter