Meski tak lama, percayalah bahwa saya pernah “tinggal” di pondok
pesantren. Masa-masa itu menjadi salah satu sekuel paling bermakna dalam hidup
saya. Seperti apa saya sekarang ini, pesantren mengambil peranan cukup banyak. Kemampuan-kemampuan istimewa yang saya miliki saat
ini, beberapa adalah hasil tempaan selama saya di pesantren. Saya berani beradu
makan makanan panas dengan siapapun, memakan nasi yang baru keluar dari periuk
tanpa menunggunya dingin adalah perkara yang selalu saya lakukan selama tidak
kurang dari 6 tahun di pesantren. Pun dengan kemampuan berolah kata, perkara
mencaci-maki orang lain, berbalas komentar, dan gojlok-menggojloki
adalah kemampuan yang saya peroleh di pesantren. Kasar dan ngawurnya komentar
netizen, sekalipun tak akan pernah sebanding dengan sarkas-nya olok-olokan
santri-santri di pesantren.
Perkara gonta-gonti pondok pesantren mungkin sayalah juaranya. Setidaknya ada 6 pesantren yang pernah menjadi
destinasi nyantri saya. Waktu itu
saya agak labil (sekarang makin akut), Saya gampang sekali loncat dari pondok
satu ke pondok yang lain karena alasan-alasan sederhana, karena mbak-mbak
pondoknya kurang cantik misalnya.*eh…. Meski begitu saya tak setuju jika ada
anak gadis yang mengatakan bahwa saya bukan tipe cowok setia. Saya bisa
bertahan di satu hati dalam kurun waktu sangat lama asal jangan buru-buru
diajak nikah, saya belum siap. #lupakan
Meski pernah nyantri, saya merasa bahwa pemahaman
saya tentang agama Islam terbilang cetek, saya bahkan tak tau-menau bagaimana
cara membaca kitab kuning yang tak berharokat itu. Saya juga tak hafal banyak
hadist dan ayat Al-Qur’an sebagaimana ustadz-ustadzah di tipi. Kemampuan untuk
menafsir pesan-pesan Tuhan yang termaktub di kitab suci Al-Qur’an juga tidak saya
kuasai. Pelajaran dari pesantren yang sampai hari begitu melekat adalah
keyakinan bahwa Agama (Islam) adalah agama yang membawa ketenangan hati,
menghendaki kedamaian, mencintai keharmonisan, serta mempermudah hidup.
Ke-egois-an dan keserakahan manusia (penganut sebuah agama) telah mengubah
ajaran suci Tuhan melalui para nabi, menjadi belenggu umat beragama.
Hati saya selalu tersayat melihat orang-orang yang
katanya telah nyantri di pesantren bertahun-tahun justru menebar kebencian,
mengatakan laku agamanya saja yang paling sesuai tuntunan. Mendaku bahwa dialah
yang paling benar dalam menafsirkan pesan Tuhan, sedang orang lain tengah
berada dalam kesesatan. Kepada orang-orang semacam itu, saya menduga bahwa
mereka hanya memperoleh pelajaran agama saat Mondok Romadhon di Pesantren
Kilat. Atau mereka yang gampang sekali memberi label kafir pada golongan
lain, hanya pernah berguru pada satu Kyai saja, Al-Muharam, Al-Mutanajis,
Romo Kyai Mbah Google semata.
Tempo hari saya larut dalam kemeriahan perayaan
Hari Santri Nasional. Tempat saya bekerja secara kebetulan didaulat menjadi
pusat perayaan event akbar ini. Ada yang sangat membuat saya bahagia, bukan
karena saya bisa berfoto bersama dengan para pejabat kabupaten serta pengurus
MUI, juga bukan karena saya bisa makan jajanan pasar secara gratis yang di
sediakan ibu-ibu dari Jam’iyah Muslimat-Fatayat, tapi lebih karena kesempatan
bisa berada dekat dengan jodoh saya, Mbak-mbak Santri Putri. #Uhuuk.
Beberapa Kyai memang mengajak serta para santrinya
untuk ikut memeriahkan perayaan Hari Santri Nasional. Saat upacara, saya berada
tepat di samping barisan mbak-mbak santri putri. Duuh bahagianya. Tanpa riasan
wajah berlebih, tanpa baju model terbaru hasil hunting dari olshop, mereka tampak sangat meneduhkan. Hanya bermodalkan
selembar jilbab paris seharga belasan ribu, yang dikombinasikan dengan wajah
manis dan berbinar buah dari rajin berwudlu dan sholat malam, mereka tampak
sangat cantik dan istriable. Saya yakin, atau lebih tepatnya saya
berharap, perempuan yang akan saya ajak bekerjasama melahirkan generasi sholeh,
cerdas, dan turut serta dalam upaya penyelamatan planet bumi nantinya, berasal
dari kalangan mereka, santri. Saya adalah tipikal jomblo yang optimis.
Namun perayaan Hari Santri Nasional juga
meninggalkan sejumlah tanya bagi saya. Saya memang tidak punya cukup kapasitas
untuk mempermasalahkan alasan politis di balik penetapan Hari Santri Nasional,
saya juga tak cukup mampu untuk memberikan pemaparan historis kenapa tanggal
ini yang dipilih. Saya hanya mempertanyakan mengapa beberapa orang mencoba
menyederhanakan makna hari santri dengan harinya kaum bersarung dan ber-kopiah.
Seperti halnya saya bertanya mengapa Hari Kartini lebih banyak diperingati
dengan lomba memasak atau peragaan busana kebaya. Kartini adalah tokoh
perempuan yang memperjuangkan kesetaraan, pejuang hak untuk memperoleh
pendidikan bagi perempuan. Tak selayaknya Hari Kartini hanya di diperingati
dengan lomba peragaan busana dan memasak. Ada cukup banyak ekspresi peringatan
Hari Santri Nasional tempo hari, namun yang terbanyak adalah upacara dengan
berpakaian ala santri, berkopiah dan bersarung bagi laki-laki, dan baju putih
rok hitam bagi perempuan. Kata “Santri” berasal dari kata *cantrik* yang
berarti para pembantu begawan atau resi. Seorang *cantrik*
diberi upah berupa ilmu pengetahuan oleh para begawan atau resi tersebut. Santri
adalah mereka yang mengabdi pada ilmu pengetahuan. Maka bagi saya memperingati
Hari Santri Nasional hanya dengan upacara adalah upaya penyederhanaan makna
santri.
23 Oktober 16
0 Response to "SANTRI DAN KARTINI"
Post a Comment