Catatan Akhir Kuli (ah)

 Satu semester berlalu, saya berkesempatan mendampingi kegiatan pembelajaran calon guru-guru SD dan PAUD di salah satu Perguruan Tinggi Swasta tak jauh dari rumah. Seperti yang telah saya katakan sebelumnya, bahwa saat ini untuk menjadi seorang dosen, seseorang tak perlu pandai. Cukup memenuhi 2 kualifikasi saja, lulus S2 dan bersedia dibayar murah.  Hebatnya, saya memenuhi 2 kualifikasi tersebut.

          Bersama mereka, saya mendiskusikan banyak hal, mulai dari Ilmu Pembelajaran, Matematika Dasar, Pembelajaran SAINS, hingga Pengembangan Kurikulum Kelompok Bermain. Karena sadar saya tak cukup pintar untuk “menggurui”, atau harus orasi ilmiah selama 90 menit penuh setiap pertemuan, saya menawarkan agar perkuliahan didesain agar para mahasiswa yang lebih aktif, beberapa mahasiswa presentasi dan yang lain menanggapi. Mainstream banget. Setidaknya dengan cara ini saya bisa menyembunyikan ketidakmampuan saya menguasai materi belajar.            
Entah karena alasan tawadhu, ogah berdebat dengan saya, atau karena takut dapat nilai jelek, para mahasiswa mengiyakan semua tawaran yang saya ajukan. Itulah hebatnya dosen. Meski begitu, cukup banyak pula aturan perkuliahan yang merupakan kesepakatan bersama. Pemilihan anggota kelompok, tema yang akan dipresentasikan, metode dan aspek penilaian, hingga toleransi batas keterlambatan masuk kelas bagi dosen dan mahasiswa mutlak hasil mufakat bersama. Selain itu saya juga berfatwa, agar mahasiswa yang presentasi tak perlu repot-repot membacakan makalahnya, tentu saja karena saya dan semua mahasiswa di kelas sudah bisa membaca sendiri. Jadi mereka hanya perlu menjelaskan isi makalah seoptimal mungkin kepada saya dan mahasiswa yang lain.

Benar apa kata Emak, bahwa cara termudah untuk belajar adalah dengan cara menjadi pendamping belajar orang lain, MENGAJAR. Saya mendapatkan banyak hal selama satu semester, selain bisa mengulang kembali apa yang pernah saya peroleh di bangku kuliah dulu agar tidak lapuk di otak, dengan menjadi dosen, pengetahuan-pengetahuan yang dulunya tak berhasil sama pahami sendiri kini terjelaskan lewat diskusi bersama mahasiswa. Kemanfaatan lain yang tak ternilai adalah informasi mengenai kondisi terkini pendidikan Indonesia. Sebagian besar mahasiswa yang ikut perkuliahan yang saya ampu telah mengajar di PAUD atau SD, hal ini tentu menambah seru khasanah perdiskusian dalam kelas. Terjadi dialog yang menarik antara teori-teori yang kami peroleh dari buku dengan pengalaman empiris para guru-guru tersebut. How Lucky I am

Meski begitu, ada beberapa moment yang berhasil membuat saya sedih tidak karuan selama mendampingi kegiatan belajar mereka. Sering kali saya dibuat remuk dan hancur berantakan saat beberapa mahasiswa menuturkan kondisi terkini pendidikan di Indonesia. Kesimpulan yang saya peroleh adalah pendidikan Indonesia masih sangat jauh dari kata mencerdaskan, apalagi membebaskan. Saya terpaksa sepakat dengan Mulyasa, bahwa sebagian besar guru/dosen (sistem pendidikan) di Indonesia justru menyesatkan masa depan para siswa.

Sungguh saya tak bermaksud merendahkan para guru/dosen, mereka yang bersedia hadir di ruang-ruang kelas sebagai pendamping belajar siswa tetap saja adalah orang-orang luar biasa. Namun dikarenakan ketidaktauan atau ketidakmampuan, dan juga sistem yang berlaku, tujuan mereka yang mencerdaskan anak bangsa justru menjadi sebaliknya.Sebagai penutup dari pengajian kali ini, saya mengajak kepada para jamaah, eh maksud saya praktisi pendidikan, untuk terus meningkatkat kualitas diri dengan cara terus belajar. Agar niat baik kita memperbaiki masa depan bangsa dengan cara mendampingi proses belajar anak-anak, tidak terjadi sebaliknya. Wabillahi Taufiq, Wal  Hidayah, Wal Inayah, Wal Maymunah, Wal Es Blewah, Wasalamualaikum Warohmatullahi Wabarokatuh.

10 Juni 2016 (Nganjuk)

0 Response to "Catatan Akhir Kuli (ah)"

Post a Comment

Tulisan Lawas Tapi Tetep Keren

Member Habib Fans Club

Habib On Twitter