NETIZEN


Selain gemar membagikan tautan berita atau informasi tanpa peduli kebenaran dari berita tersebut, ada hal lain yang juga gemar dilakukan netizen di Indonesia, yakni “mengutuk” siapa saja yang dianggap telah berbuat “kemunkaran”. Masih anget di ingatan kita, tak terhitung berapa akun pesbuk yang kompak membagikan tautan berita kematian seorang karyawan pabrik yang dibunuh menggunakan cangkul, lengkap menyertakan foto korban beserta cangkul yang berlumuran darah tanpa sensor. Saya sungguh tak sanggup membayangkan bagaimana perasaan keluarga korban yang ditinggalkan, melihat foto keluarganya yang telah meninggal dengan cara yang tragis dan fotonya terus bertebaran di media sosial.

Kejadian serupa juga terjadi pada persistiwa bencana longsornya material di wisata Air Terjun Sedudo Nganjuk yang merenggut korban jiwa. Sesaat setelah kejadian, ada foto yang viral di kalangan netizen. Sebuah foto yang menunjukan wajah seseorang yang berlumuran darah sedangkan sebagian besarnya tubuhnya masih tertimbun tanah. Beberapa akun pesbuk seakan berlomba menjadi yang terdepan menyebarkan berita tersebut, dengan tidak lupa menyertakan “caption” ungkapan keprihatinan. Ada 2 hal yang perlu mendapatkan perhatian dari kejadian ini, pertama tentang sisi kemanusiaan. Menyebarkan foto korban (tanpa sensor) di media sosial dengan alasan apapun tak bisa dibenarkan, karena ini menyangkut duka keluarga korban terus ditaburi garam. Dan yang kedua tentang kebenaran informasi. Setelah dilakukan penelusuran, foto yang menjadi viral bukanlah foto bencana di Air Terjun Sedudo, melainkan foto korban tanah longsor di daerah lain. Para netizen mengabaikan pentingnya validasi kebenaran informasi demi mengejar predikat “up to date”.
Source : Google

Yang terbaru tentu saja kabar tentang seorang Guru yang dituntut ke pengadilan gegara mencubit anak muridnya. Kabar tentang disidangnya Sang Guru di Pengadilan Sidoarjo segera menarik simpati publik dan berteran di jagat maya. Para netizen enggan berdiam diri, tanpa dikoordinir mereka kompak memberi dukungan kepada sang Guru lewat untaian status FB dan tak lupa juga “mengutuk” Si Anak yang dianggap “Badung” dan Sang Bapak yang dicap “Arogan”. Foto sang Anak yang tengah merokok disandingkan dengan wajah muram Pak Guru tersebar di jagat maya. Meski drama berakhir dengan damainya kedua belah pihak, dan Pak Guru urung diproses secara hukum, namun kutukan netizen kepada Sang Anak dan keluarga terlanjur terjadi.

Kerja keras netizen menyebarkan foto Sang Anak dan memberinya label-label negatif kepadanya membuahkan hasil. Anak ini tak lagi bisa sekolah, semua sekolah menolak menerimanya sebagai murid. Dia kehilangan teman dan semakin jauh dari lingkungan yang kondusif. Saya sepakat bahwa anak ini beserta bapaknya telah berbuat tak semestinya, tapi hukuman yang harus dia terima terlampau berat. Emang ada diantara kita yang sewaktu kecil tidak pernah berbuat kesalahan? Dia bisa saja berubah menjadi anak “Bajingan” karena kasus ini. Selain akan terasing (diasingkan) dari lingkungan kondusif, secara psikologis kejiwaan anak ini tentu terpukul melihat fotonya dihujat beramai-ramai.

Saya sendiri sebagai seorang pengajar juga tak bisa membenarkan perlakuan Pak Guru yang mencubit muridnya. Dengan alasan apapun (pendisiplinan misalnya), kekerasan di dunia pendidikan tak selayaknya terjadi. Saya pernah mengajar di sekolah dasar, dan salah seorang murid saya kedapatan membawa minuman keras ke sekolah. Tentu saja saya sangat marah kepadanya, tapi tidak sepatah katapun terlontar kata-kata umpatan apalagi kutukan. Saya hanya dengan tegas menunjukan kepadanya bahwa yang dia lakukan bertentangan dengan moral dan tata nilai yang berlaku di Masyarakat dan agama. Dan dengan pendekatan yang baik, Sang murid benar-benar menyesali perbuatannya, dan dengan tulus mengakui kesalahannya. Dan setelah kejadian tersebut dia menjadi pribadi yang lebih baik.

Menurut saya “Nakal” hanyalah terminologi yang dibuat orang dewasa untuk diberikan kepada anak-anak yang tidak sesuai dengan cara berfikir orang dewasa. Tidak ada anak bodoh atau nakal, yang ada hanyalah anak yang belum mendapatkan bimbingan dan contoh yang baik saja. Maka cara terbaik ketika anak melakukan kesalahan adalah bukan dengan hukuman fisik apalagi serangan psikis, akan tetapi pemberian pemahaman bagaimana yang benar dan sesuai tata nilai dan moral.

Semoga Ramadhan menjadikan kita pribadi yang lebih baik. Sebagai penutup tulisan ini akan saya kutipkan sebuah maqolah dari Gus Dur,
 “ Jika kamu membenci orang karena dia tidak bisa membaca Al-Qur’an, berarti yang kamu pertuhankan itu bukan Allah, tapi Al-Qur’an. Jika kamu memusuhi orang yang berbeda agama dengan kamu, berarti yang kamu pertuhankan bukan Allah, tapi agama. Jika kamu menjauhi orang yang melanggar moral, berarti yang kamu pertuhankan bukan Allah, tapi moral. Pertuhankanlah Allah, bukan yang lainya. Dan pembuktian bahwa kamu mempertuhankan Allah, kamu harus menerima semua makhluk. Karena begitulah Allah".

0 Response to "NETIZEN"

Post a Comment

Tulisan Lawas Tapi Tetep Keren

Member Habib Fans Club

Habib On Twitter